Pendahuluan
Bagi mahasiswa pada
Fakultas Hukum maupun Sarjana Hukum (meester
in de rechten), sudah barang tentu tidak asing lagi dengan istilah Burgerlijk Wetboek (BW). Dimulai dari awal
masuk perkuliahan sampai kepada menyusun skripsi, mahasiswa selalu menjumpai
istilah tersebut. Begitupun pula kalangan praktisi dan akademisi, tidak pernah
luput dan selalu berkutat dengan pasal-pasal yang ada dalam BW. Lantas, apakah
yang dimaksud dengan BW? Apakah BW termasuk sebagai undang-undang atau hanya
sebuah kitab atau yang lebih ekstrim disebut dengan kitab yang diterjemahkan? Dan
bagaimana kedudukannya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?
Tema sentral tulisan ini adalah menakar
kembali kedudukan BW dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Tujuan utamanya tidak lain adalah untuk
mendapatkan suatu gambaran (overzicht)
utuh tentang arti penting BW yang masih berlaku hingga saat ini. Melalui
tulisan ini juga, penulis akan mencoba menguraikan secara singkat problematika
yang menyelimuti BW, baik dari segi istilah, asal-usul, bahkan eksistensinya
yang lambat laun kian meredup.
Dilematik antara Burgerlijk Wetboek (BW) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata)
Secara harfiah istilah BW
atau yang mempunyai nama lengkap Burgerlijk
Wetboek voor Indonesie jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lazim
disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Nomenklatur perdata pertama kali
dikemukakan Prof. Djojodigoeno, dimana beliau mengambil dari bahasa jawa yaitu
berasal dari kata “perdoto” yang
artinya perselisihan atau pertengkaran. Perdata sendiri merupakan terjemahan
dari kata “burgerlijkrecht” pada masa
kependudukan Jepang, selain dikenal juga istilah privatrecht/civilrecth.
Mengingat versi BW yang
asli adalah berbahasa Belanda yang dijadikan sebagai pegangan atau pedoman,
sehingga sangat perlu untuk diterjemahkan. Oleh karena itu, para ahli mencoba
untuk menerjemahkan dan menafsirkan BW ke dalam bahasa Indonesia seperti yang
dilakukan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio[3], dan
bahkan banyak penerbit menerjemahkan BW secara individu. Perbedaan penerjemahan
akan menimbulkan suatu kesesatan (dwang)
dalam memahami dan memaknai isi dan maksud pasal-pasal yang berada di dalam BW.
Tidak adanya unifikasi dalam
penerjemahan BW hingga saat ini menjadi salah satu pekerjaan rumah yang tak
kunjung berakhir dalam menjamin keutuhan makna yang sebenarnya, disamping tugas
utama melalukan pembaruan hukum perdata nasional. Dengan demikian untuk
memudahkan uraian selanjutnya penulis akan menggunakan istilah BW dalam tulisan
ini.
Menggugat Eksistensi
BW: Perjalanan Historis menuju Keredupan
Asal
muasal BW di Indonesia jika ditelusuri ke belakang memiliki keterka-itan sejarah
yang panjang dengan bangsa Eropa sejak kekaisaran Romawi. Secara singkat dimulai
kurang lebih pada abad ke-5 SM, Prancis ditaklukan Julius Caesar sebagai awal
hukum Romawi diberlakukan di wilayah Prancis. Kemudian Kaisar Justinianus
berkuasa, dibentuklah Corpus Iuris
Civilis (524-565 M) dan saat kepe-mimpinan Raja Louis XV dimulainya awal
kodifikasi yang menghasilkan Code Civil Prancis
pada 21 Maret 1804. Revolusi Prancis pecah, Kekaisaran Prancis direbut oleh
Napoleon Bonaparte. Tahun 1807 tercetuslah Code
Napoleon (kodi-fikasi hukum perdata Prancis) yang menjadi cikal bakal
lahirnya BW dan setahun kemudian disusul lahirnya Code Du Commerce (kodifikasi hukum dagang).
Code Napoleon
dan Code Du Commerce juga
diberlakukan bagi negara-negara wilayah jajahan Prancis salah satunya Belanda
yang mulai berlaku sejak 1 Maret 1811. Pada tahun 1813 pendudukan Perancis berakhir dan Belanda
merde-ka.
Selanjutnya tahun 1814
Belanda mengadakan kodifikasi yang diketuai oleh. Mr. JM. Kempur yang bersumber
dari Code Napoleon dan hukum Belanda
kuno. Tepatnya tanggal 1 Oktober 1838 kodifikasi ini disahkan dengan nama: Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK) setelah
disahkan oleh Raja.
Masuknya BW di nusantara dapat ditelusuri mengingat
Indonesia (dahulu Hindia Belanda) pada waktu itu
merupakan jajahan Belanda, maka hukum perdata Belanda yang sebagian besar
merujuk kepada Code Civil itu, berdasarkan asas konkordansi diberlakukan
pula bagi Indonesia. Pada
31 Oktober 1837, Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem didapuk menjadi ketua panitia
kodifikasi dengan Mr. A.A. van Vloten dan Mr. Meyers masing-masing sebagai
anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J. Schneither dan Mr. A.J.
van Nes. Kodifikasi BW Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Stb. No.
23 dan mulai berlaku pada Januari 1848.
Berkenaan dengan berlakunya BW, tidak akan lepas
dari politik hukum pemerintahan Hindia Belanda yang membagi penduduk Hindia
Belanda menjadi 3 (tiga) golongan, yakni: Golongan Eropa; Golongan Timur Asing;
dan Golongan Pribumi/Bumi Putera. Penggolongan tersebut diatur dalam Pasal 163
IS (Indische Staatsregeling).
Disamping itu juga, berdasarkan Pasal 131 IS (yang sebelumnya Pasal 75 RR) yang
mengatur hukum apa yang berlaku bagi tiap-tiap golongan itu. Jadi, awal mulanya
BW hanya berlaku bagi Golongan Eropa dan Golongan Timur Asing dengan beberapa
pengecualian dan penambahan, sementara Golongan Bumi Putera berdasar kepada
Pasal 131 ayat (6) IS berlaku hukum perdata adat, yaitu keseluruhan peraturan hukum yang tidak tertulis tetapi hidup dalam
tindakan tindakan rakyat sehari-hari.
Dalam pada itu, hukum perdata adat masih belum seragam sesuai dengan banyaknya
lingkungan hukum adat (adat rech skiringen) di Indonesia sebagaimana
penelitian yang ditemukan oleh van Vollenhoven.
Setelah
Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, terjadi kekosongan baik pemerintahan
dan dasar hukum, sehingga akan sangat mungkin timbul chaos atau kekacauan. Barulah pada tanggal 18 Agustus 1945
disahkannya dasar hukum negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Tepatnya dalam Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945[4]
menyatakan bahwa: “Segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini.” Berdasarkan ketentuan diatas, BW dinyatakan
masih tetap berlaku. Dengan begitu, BW secara mutatis mutandis disebut sebagai soko guru hukum perdata Indonesia.
Saat
ini masih cukup banyak peraturan perundang-undangan yang berasal dari
pemerintah kolonial Belanda selain BW yang masih berlaku, karena belum diadakan
yang baru menurut UUD 1945, [5]
diantaranya Wetboek van Koophandel (KUHD),
Wetboek van Strafrecht (KUHP), HIR[6] (Het Herziene Indonesich Reglement atau
Reglemen Indonesia Baru, Stb. 1941 No. 44), RBg. (Reglement Buitengewesten, Stb. 1927 No. 227), dan Rv.[7] (Reglement op de burgerlijk rechtsvordering
voorde raden van Justitie op Java en het Hoogerechtshof van Indonesie, alsmede
voor de residentiegerechten op Java en Madura, Stb. 1847 No. 52 jo. Stb. 1849 No. 63). Padahal kalau
kita melihat peraturan perundang-undangan yang disusun oleh pemerintah Belanda,
jelas mempunyai landasan berpikir yang berbeda. Menurut R. Subekti, “cara
berpikir orang Belanda itu bisa disamakan dengan cara berpikir yang abstrak,
sedangkan cara berpikir kita yang tercermin dari Hukum Adat itu konkrit”. Selain
cara berpikir yang berbeda, mentalitas antara Indonesia dan Belandapun juga
terdapat perbedaan. Itupun yang dirasakan Ter Haar, cara berpikir yang menjadi
hal yang determinan adalah unsur rasio, sedang mentalitas lebih mengedepankan
sikap batin dan perilaku manusia.
Berkaitan
dengan hal tersebut menarik untuk diuraikan seperti dikemukakan oleh
Koerniatmanto Soetoprawiro[8]
dalam tulisannya yang berjudul “Mentalitas
Barat dan Mentalitas Timur”. Dalam tulisannya, diperbandingkan pertemuan
antara dua mentalitas dikotomis tersebut dalam konteks kebudayaan, bukan dalam
konteks geo-politik. Tentu saja yang menjadi turning point-nya adalah mentalitas kebudayaan Indonesia. Holleman
mengatakan bahwa mentalitas Indonesia itu dapat dirumuskan sebagai Kosmik,
Komunal, Kontan, dan Konkrit (de vier C
atau 4 K). Model mentalitas semacam ini banyak pula dikemukakan meski tak
sepadat Holleman, seperti Ter Haar dam F.D.E. van Ossenbruggen. Sebagai contoh,
kosmos disimbolkan secara konkrit seperti cara pendakian gunung yang melingkar
menggambarkan suatu kosmos yang terbagi ke dalam 4 (empat) bagian. Keempat
bagian ini disimbolkan dalam bentuk 4 (empat) arah mata angin sebagai
perjalan-an hidup seorang manusia. Lantas, apakah pemberlakuan BW telah sesuai
dengan mentalitas atau cara berpikir budaya masyarakat Indonesia? dan bagaimana
posisi yang sebenarnya dari BW menurut peraturan perundang-undangan di
Indonesia?
Pada
masa kini, BW bisa dipahami sedang mengalami alienasi eksistensi sebagai imbas
dari tuntutan perkembangan jaman. Mau tidak mau, suka tidak suka sampai
kapanpun BW akan tetap berlaku di Indonesia sebelum ada penetapan yang baru
peraturan tentang hukum perdata nasional sebagai amanat UUD 1945 sekalipun
sangat bertolak belakang dengan kebudayaan Indonesia. Sehingga tidak
mengherankan jika masih banyak yang menyangsikan keabsahan BW saat ini.
Mr.
Sahardjo yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman pernah melontarkan
bahwa BW (KUH Perdata) itu hanya dianggap sebagai Recht Boek, bukan Wet Boek.
Akan tetapi pandangan itu ditentang keras oleh R. Subekti yang tetap
berpandangan bahwa BW tetaplah Wet Boek,
karena dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Agraria (UUPA), jelas disebutkan bahwa sepanjang ketentuan dalam
Buku II BW yang mengatur tentang bumi, air serta kekayaan yang terkandung didalamnya,
dicabut kecuali ketentuan mengenai hipotik (hypotheek).[9] Sri
Soedewi Majchun Sofwan mengatakan terdapat 3 (tiga) konsekuensi sejak
diundangkannya UUPA bagi Buku II BW, yaitu : Pasal-pasal yang masih berlaku
penuh; Pasal-pasal yang tidak berlaku lagi; dan Pasal-pasal yang masih berlaku
tetapi tidak penuh.[10]
Semua pasal yang merupakan pelaksanaan atau bertalian dengan pasal-pasal yang
tidak berlaku itu meskipun tidak tegas-tegas dicabut dan letaknya diluar Buku
II BW.[11]
Sedikit
demi sedikit, pasal-pasal yang ada dalam BW dipreteli
satu per satu. Setelah berlakunya UUPA, giliran selanjutnya yaitu terbitnya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963 perihal
Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek
Tidak sebagai Undang-Undang. Beberapa pasal dipandang sudah tidak berlaku lagi,
yaitu: (a) Pasal 108-110 BW; (b) Pasal 284 ayat (3) BW; (c) Pasal 1682 BW; (d)
Pasal 1579 BW; (e) Pasal 1238 BW; (f) Pasal 1460 BW; dan juga (g) Pasal 1603
ayat (1) dan (2) BW.
Sementara itu, dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tanggal 1 April 1975
tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan yang mengganggap tidak berlaku lagi
semua peraturan yang mengatur perkawinan sepanjang telah diatur dalam undang-undang
tersebut. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah
mengantikan pengaturan tentang jaminan fidusia telah digunakan di Indonesia
sejak jaman Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi
pengadilan di Indonesia.
Dalam perkembangannya selama ini,
kegiatan pinjam-meminjam dengan menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
(UUHT) yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari
lembaga hipotek atas tanah dan credietverband dalam BW. Dan masih banyak
lagi perubahan ketentuan yang terdapat dalam BW sesuai tuntutan dan kebutuhan
masyarakat saat ini.
Baik
pencabutan maupun perubahan terhadap pemberlakuan pasal-pasal dalam BW
berpegang teguh pada asas “lex a
posteriori derogate lex a priori” yang artinya undang-undang yang baru
mengesampingkan undang-undang yang dahulu/lama, disamping kebutuhan masyarakat.
Pencabutan dilakukan jika ada undang-undang yang tidak diperlukan lagi dan
diganti dengan undang-undang yang baru, sedangkan perubahan dilakukan dengan
menyisipkan atau menambah materi atau menghapus atau mengganti sebagian materi
undang-undang.[12]
Sudah secara jelas dan
terang-benderang bahwa BW hingga saat ini masih diakui eksistensinya sebagai
undang-undang dalam peraturan perundang-undangan, sekalipun dalam
penyebutannya diistilahkan kitab (KUH Perdata) yang tidak sama tingkatannya dengan
UUD 1945. Terlebih pasal-pasal dalam Buku III BW perihal hukum perikatan atau
hukum perjanjian sebagai acuan dalam berkontrak. Sungguhpun demikian, dibalik
itu semua BW berbicara tentang tantangan masa kini dan masa datang masih banyak
kekurangan yang belum diakomodasi, serta tidak sesuai lagi dengan perkembangan
jaman. Oleh karenanya, perlu diadakan pembaruan hukum perdata yang bersifat
nasional, bukan warisan kolonial Belanda
Tarik Ulur Kebijakan
Legislasi dalam Pembaruan Hukum Perdata Nasional: sebuah Harapan sebagai
Keniscayaan
Era reformasi telah menandakan awal babak
baru dalam sejarah bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, UUD 1945 yang dianggap
sakral pada era orde lama dan orde baru untuk diubah, justru mengalami
amandemen sebanyak 4 (empat) kali dengan segala konsekuensinya. Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945 menyebutkan “negara Indonesia adalah negara hukum” dengan esensi
utamanya bahwa hukum Indonesia berdasarkan alas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Artinya adalah hukum
sebagai panglima dan pemberi rasa keadilan, maka dari itu hukum harus bisa
mengejar setiap perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Pemeo
“ubi societas ibi ius” (di mana ada
masyarakat manusia, di sana ada hukum) hendak mengungkapkan bahwa hukum adalah
suatu gejala sosial yang bersifat universal. Di setiap lingkungan masyarakat
bahkan negara, hukum selalu mengalami perkembangan. Tanpa kecuali BW yang
usianya hampir menginjak 170 tahun. BW yang kini sudah semakin lapuk, usang (verouderd), dan sangat jauh ketinggalan
jaman. Hukum terus berkembang, begitupun pula aneka perma-salahan hukum semakin
beragam dan kompleks. Seperti contohnya perluasan alat bukti selain yang diatur
dalam Buku IV BW mengenai alat bukti elektronik. Hukum sudah selayaknya
menjangkau fenomena kemasyarakatan. Apabila tertinggal ataupun tidak sesuai,
maka hukum tidak akan dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum kepada
masyarakat. Maka dari itu, reformasi atau gagasan pembaruan hukum perdata
nasional menyeruat ke permukaan
sebagai kebutuhan yang mendesak dan tidak tertahankan.
Tercatat
banyak sekali usaha dalam melakukan gagasan pembaruan hukum perdata nasional,
mulai dari seminar, simposium, lokakarya dan lain sebagainya. Diantaranya yaitu
Simposium Pembaruan Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada tanggal 21-23 Desember 1981 yang dihadiri
para pakar/ahli hukum perdata. Kebutuhan akan pembaruan hukum perdata dilakukan
baik dari segi strukturnya maupun dari segi substansinya.[13]
Usaha mengadakan pembaruan dimaksudkan untuk menyelaraskan perkembangan hukum
perdata dengan mo-dernisasi di dalam segala aspek kehidupan yang didukung oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Didalam
simposium tersebut, tujuan utamanya tidak lain adalah pembaruan kodifikasi
serta unifikasi hukum, dalam hal ini hukum perdata nasional. Kemudian timbul
gagasan untuk mempercepat proses kodifikasi dibuka kemungkinan menyusun
kodifikasi parsial (bagian), yaitu kodifikasi dalam lapangan-lapangan hukum
yang lebih sempit. Disetujui bahwa bahan hukum penyusunan kodifikasi hukum
perdata nasional dipergunakan hukum perdata Barat, hukum Islam, dan hukum adat,
dan aturan-aturan lain yang relevan.[14]
Pada kesimpulannya, penyusunan kodifikasi dilakukan secara bertahap sesuai
dengan kebutuhan dan prioritas di dalam pembangunan. Perkembangan bidang hukum
perdata di negara ini mem-punyai tendensi untuk disusun dalam bentuk kodifikasi
nasional sebagai berikut: (1) bidang hukum keluarga (termasuk hukum
perorangan); (2) bidang hukum waris; (3) bidang hukum benda; (4) bidang hukum
jaminan; (5) bidang hukum perikatan (umum); (6) bidang badan hukum; (7) bidang
perjanjian-perjanjian khusus; dan materi hukum acara perdata dalam bentuk
kodifikasi secara tersendiri.
Yang
terbaru digagas Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) yang resmi berdiri
pada tanggal 4 September 2013 dengan diselenggarakannya Konferensi Nasional
Hukum Perdata II yang bertemakan “Karakteristik
Hukum Perikatan Nasional: Menuju Pembaharuan Hukum Perikatan Nasional”
tanggal 16-17 April 2015 di Universitas Udayana, Denpasar, Bali yang kala itu
fokus dalam pembaruan hukum perikatan nasional. Pembahasan mengenai perikatan
didasari oleh Buku III BW sebagai satu-satunya buku dalam ketentuan tersebut
yang belum diatur secara khusus dalam hukum nasional dan sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan hukum saat ini.
Ketua Umum APHK Y. Sogar Simamora dalam
kesempatan itu berharap pemerintah bisa memberi perhatian lebih pula dalam
pembaruan hukum perdata nasional. Sementara itu, menurut Dian Purnama Anugerah,
di Indonesia sudah ada gagasan untuk mengubah kodifikasi BW sudah ada sejak
tahun 1970-an, tetapi kemudian hal itu tidak pernah terwujud sama sekali. Dian juga
berharap ke depan pemerintah bisa melibatkan APHK dalam mereformasi hukum
keperdataan di Indonesia. Ketua Mahkamah Agung RI, M. Hatta Ali dalam pidato
pembukaannya menyatakan bahwa perjalanan memperbaharui hukum keperdataan
Indonesia memang masih panjang. Namun, para dosen ini sudah berada di track
yang benar, karena mereka-lah harusnya berperan mendorong reformasi itu. “Akademisi
dan Hakim harus berkolaborasi memperbarui hukum perdata”, tandasnya.
Sudah menjadi keharusan
dan kewajiban untuk dilakukan pembaruan hukum perdata nasional sesegera mungkin
mengingat Indonesia sudah 71 tahun merdeka harus keluar dari belenggu hukum
peninggalan kolonial Belanda. Tidak hanya BW, namun juga terhadap KUHD, KUHP, HIR,
RBg. dan lain sebagainya.
Penutup
Eksistensi
BW di Indonesia, tidak dapat dipungkiri sejak awal dipengaruhi oleh politik
hukum pemerintahan Belanda yang menerapkan asas konkordansi bagi hukum wilayah
jajahannya. Perbedaaan cara berpikir dan mentalitas antara budaya Indonesia
dengan budaya Belanda menjadi faktor determinan yang tidak terelakkan untuk
segera melakukan pembaruan terhadap hukum perdata nasional. Diharapkan dengan dibentuknya
Hukum Perdata Nasional, akan menunjukkan pancaran kepribadian yang sesuai
dengan kebudayaan asli Indonesia.
Pencabutan
maupun perubahan pasal-pasal dalam BW adalah wujud konkrit tuntutan pembaruan yang menurut Y. Sogar
Simamora dapat dikatakan sangat jauh tertinggal dengan BW Baru Belanda atau Niuew Burgerlijk Wetboek (NBW) tahun
1992 yang berhasil diubah, dirombak, singkatnya dimodernisasi, sehingga
mengikuti perkembangan jaman yang dimulai sejak tahun 1947. Belajar dari itu,
para legislator (DPR RI) dan Pemerintah harus mulai memikirkan kapan pembaruan
ini dapat terwujud. Harapan besar itu sudah menanti di depan mata. Jangan
sampai hukum semakin jauh meninggalkan peradaban masyarakat yang dari waktu ke
waktu terus berkembang.
Pembaruan hukum perdata
nasional adalah suatu keniscayaan, yang bukan hanya sekedar recht boek saja, namun wet boek sebagai pemecah
permasalahan-permasalahan hukum keperdataan yang relevan dalam masyarakat. Baik
pembaruan dalam bentuk kodifikasi, parsial, atau kodifikasi secara bertahap,
hal tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu Hukum Perdata Nasional yang
berciri khas-kan keindonesiaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Semoga
sekelumit tulisan singkat ini dapat menambah cakrawala khazanah keilmuan dan
pengetahuan dalam bidang hukum di Indonesia.
Daftar
Pustaka
Aziz Syamsuddin, 2013, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Jakarta: Sinar Grafika
Mariam Darus Badrulzaman, 2015, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata, Buku Ketiga, Yurisprudensi, Doktrin serta Penjelasan,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata Indonesia,
Bandung: PT Alumni
Koerniatmanto Soetoprawiro, 1993, Percikan Gagasan Tentang Hukum II,
Kumpulan Tulisan Ilmiah Hukum Alumni dan Dosen Fakultas Hukum UNPAR, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti
R. Subekti, 1998, Ceramah Perbandingan Hukum Perdata, Mahkamah Agung RI: Bina
Yustisia
-------------, 2003, Hukum Perdata, Cetakan Ketiga Puluh Satu, Jakarta: Intermasa
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2009, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek yang diterjemahkan),
Cetakan Keempat Puluh, Jakarta: PT. Pradnya Paramita
Sri Soedewi Maschun Sofwan, 1974, Hukum Perdata: Hukum Benda; Yogyakarta:
Liberty
Valerine J.L. Kriekhoff, 2014, Pendulum Antinomi Hukum, Antologi
70 Tahun, Yogyakarta: Genta Publishing
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55461f3b61c74/aphk--asosiasi-dosen-yang-bercita-cita-memperbaharui-hukum-perdata
[1] Tulisan ini dibuat secara
pribadi melalui berbagai sumber pada tanggal 28-31 Juli 2016.
[2] Penulis adalah mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Jember dengan konsentrasi pada Hukum Keperdataan dan
aktif sebagai anggota Forum Kajian Keilmuan Hukum (FK2H) FH-UJ.
[3] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,
2009, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek yang
diterjemahkan), Cetakan Keempat Puluh, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
[4] Dahulu Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 sebelum diadakan Amandemen UUD 1945.
Dalam butir 127 Lampiran Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011, disebutkan bahwa “Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian
pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan
yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak
yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat
transisional atau bersifat sementara.
[5] Harifin A. Tumpa, 2014, Pembentukan Norma Hukum Perdata melalui
Yurisprudensi dalam Antologi 70 Tahun Valerine J.L. Kriekhoff, Pendulum Antinomi Hukum, Yogyakarta:
Genta Publishing, hal. 346.
[6] Dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, sebagian ketentuan HIR khususnya untuk acara
pidana telah dicabut.
[7] Menurut R. Supomo, karena telah
dihapuskannya Raad van Justitie dan Hooggerechtshof, Rv. sudah tidak berlaku
lagi, sehingga hanya HIR dan RBg. sajalah yang berlaku. Akan tetapi, dalam
praktik peradilan eksistensi ketentuan dalam Rv. oleh judex facti (PN dan PT) serta judex
juris Mahkamah Agung tetap dipergunakan dan dipertahankan. Mohammad Saleh
dan Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai
Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT Alumni, hal. 12.
[8] Koerniatmanto Soetoprawiro,
1993, Percikan Gagasan Tentang Hukum II,
Kumpulan Tulisan Ilmiah Hukum Alumni dan Dosen Fakultas Hukum UNPAR, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, hal. 57-77.
[9] R. Subekti, 1998, Ceramah Perbandingan Hukum Perdata,
Mahkamah Agung RI: Bina Yustisia, hal. 49. Bandingkan dengan R. Subekti, 2003, Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, hal.
14, bahwa “Kita sedang berusaha untuk membentuk suatu kodifikasi hukum
nasional. Sementara belum tercapai, BW dan WvK masih berlaku dengan ketentuan
hakim dapat menganggap suatu pasal tidak berlaku lagi jika bertentangan dengan
keadaan jaman sekarang ini. Dikatakan
bahwa BW dan WvK itu tidak lagi merupakan suatu “Wetboek” tetapi suatu
“Rechtsboek”, kursif penulis.
[10] Selanjutnya baca Sri Soedewi
Maschun Sofwan, 1974, Hukum Perdata:
Hukum Benda; Yogyakarta: Liberty, hal: 5.
[11] Mariam Darus Badrulzaman, 2015, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata, Buku
Ketiga, Yurisprudensi, Doktrin serta
Penjelasan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 205.
[12] Aziz Syamsuddin, 2013, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang,
Jakarta: Sinar Grafika, hal. 124-125.
[13] Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 220.
[14] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar