BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan
nasional sebagaimana yang tercantum dalam Alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Namun, pembangunan nasional
yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air
memerlukan dana yang memadai, terutama dari sumber perpajakan. Pajak
memiliki peran yang sangat vital bagi
pembangunan Indonesia, karena pajak menyumbang sekitar Rp1.099,94 Triliun atau sekitar 73,23% dari seluruh
penerimaan Negara pada Tahun 2013.[1]
Timbulnya
sengketa perpajakan sebagai konsekuensi atas peningkatan jumlah Wajib Pajak dan
pemahaman atas hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan
perundang-undangan perpajakan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan. Bahkan, jumlah sengketa pajak yang masuk ke
Pengadilan Pajak cenderung mengalami peningkatan dalam sepuluh tahun terakhir. Pada level Peninjauan Kembali (PK) perkara
Tata Usaha Negara di Mahkamah
Agung, kasus pajak menempati urutan pertama. Dari total akumulasi dari tahun ke
tahun, berkas yang masuk hingga akhir 2013 adalah sebanyak 17.914, sementara untuk permohonan peninjauan
kembali (PK) atas putusan pengadilan pajak sebesar 1.149.[2]
Sengketa pajak
yang timbul memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang
cepat, murah, dan sederhana. Hal ini dikarenakan pajak memegang peran penting
dan strategis dalam penerimaan negara sehingga dalam penyelesaian sengketa sajak
diperlukan jenjang pemeriksaan ulang vertikal yang lebih ringkas untuk
mengurangi inefisiensi akibat potensi pengulangan pemeriksaan menyeluruh pada
setiap jenjang pemeriksaan ulang vertikal. Oleh karena itu, Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
(selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak), sebagai langkah untuk menyelesaikan
sengketa pajak tersebut.
Dalam memutus sengketa pajak, Pengadilan Pajak dapat memberikan putusan
yang merugikan atau mengurangi kedudukan atau kepentingan hukum penggugat dari
keadaan sebelum penggugat mengajukan gugatannya. Hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 80 ayat (1) huruf c yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak dapat
berupa menambah Pajak yang harus dibayar oleh Penggugat. Putusan tersebut
digunakan apabila fakta hukum menunjukan bahwa kewajiban pajak
Penggugat yang sebenarnya lebih besar daripada nilai kewajiban pajak yang
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang digugat atau yang diajukan suatu
keberatan oleh Penggugat kepada Pengadilan Pajak.[3]
Dalam sistem Peradilan Pajak,
putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Satu-satunya upaya hukum yang dapat ditempuh
oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa
pajak adalah peninjauan kembali. Namun,
Pasal 91 huruf c memberikan pengecualian bahwa untuk putusan yang memuat menambah jumlah pajak yang dibebankan kepada
Penggugat tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Dengan demikian, putusan yang berupa “menambah jumlah pajak yang dibebankan kepada Penggugat” langsung memiliki
kekuatan hukum yang tetap, dan tidak ada upaya hukum yang disediakan oleh negara untuk Wajib Pajak atau penanggung pajak sebagai para pencari keadilan
dalam sengketa pajak.
Dalam paradigma hukum
progresif, hukum harus
selalu hadir menyesuaikan kebutuhan manusia dengan semangat zamannya. Hukum
tidak hanya berorientasi terhadap apa yang menjadi kebutuhan manusia saat ini,
tetapi juga harus menjangkau kebutuhan manusia di masa mendatang.[4] Hal ini berarti bahwa hukum harus merespon kebutuhan
manusia, bukan hanya untuk mengatasi kasus-kasus yang terjadi saat ini tetapi
juga harus memiliki kepekaan untuk menyelesaikan hal-hal yang mungkin akan di
masa mendatang. Sebagai contoh kasus (hipotetik) adalah terjadinya hakim
Pengadilan Pajak melakukan kesalahan dalam melakukan penghitungan nilai pajak
yang harus dibayar oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak sehingga Wajib Pajak atau penanggung pajak membayar pajak lebih besar
daripada nilai pajak yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Putusan yang
dibuat atas kesalahan tersebut tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
Hal ini dikarenakan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak tidak menjadikan kekhilafan
hakim sebagai alasan permohonan penunjauan kembali. Selain itu, putusan
tersebut termasuk dalam pengecualian dalam alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak.
Sudikno Mertokusumo
berpendapat bahwa pengadilan bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan untuk
mengadili, melainkan sebagai pengertian abstrak, yaitu hal yang memberikan
keadilan. Hal ini berarti bahwa tugas pengadilan atau hakim dalam memberikan
keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan, kongkritnya kepada yang
mohon keadilan, apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.[5]
Demikian pula dengan Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak haruslah memberikan
keadilan kepada Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak sebagai pencari keadilan dalam sengketa pajak. Dengan
demikian, Sistem Peradilan Pajak haruslah memberikan akses seluas-luasnya bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak
untuk memperoleh keadilan.
Berdasarkan
uraian diatas, Pengadilan Pajak merupakan institusi pengadilan yang digunakan
oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak untuk mencari keadilan dalam sengketa pajak.
Namun, upaya hukum yang disediakan dalam Pengadilan Pajak, dalam hal ini peninjauan
kembali (PK), kurang memadai dalam upaya memberi keadilan bagi Wajib Pajak
atau Penanggung
Pajak. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat legal gaps antara tujuan pembentukan Pengadilan Pajak dengan upaya
hukum yang tersedia didalamnya. Oleh karena itu, perlu
adanya rekonstruksi pengaturan terhadap peninjauan kembali
dalam Pengadilan Pajak untuk mewujudkan keadilan
substantif dalam integrasi global.
1.2.
Rumusan Masalah
Sebagai satu-satunya upaya hukum yang disediakan dalam sistem peradilan
pajak, peninjauan kembali merupakan ujung tombak bagi para pencari keadilan
apabila terdapat putusan Pengadilan Pajak
yang dirasakan tidak memberikan keadilan bagi dirinya. Namun, upaya hukum
tersebut tidak dapat ditempuh terhadap putusan Pengadilan Pajak yang berupa menambah pajak yang dibayar oleh Penggugat. Padahal, tidak tertutup kemungkinan adanya
kesalahan hakim dalam melakukan penghitungan terhadap pajak yang harus dibayar
oleh Penggugat.
Berdasarkan latar
belakang yang diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam karya
tulis ilmiah ini, yaitu sebagai berikut:
1.
Apakah
alasan permohonan Peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c sudah sesuai dengan tujuan pembentukan
Pengadilan Pajak?
2.
Bagaimana
pengaturan di masa mendatang mengenai alasan permohonan Peninjauan kembali atas
Putusan Pengadilan Pajak dalam rangka mewujudkan keadilan substantif dalam
integrasi global?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan
yang ingin dicapai oleh penulis, adalah:
1. Sebagai
tujuan akademis, yaitu untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Diponegoro Law
Fair 2015 yang diselenggarakan oleh Komunitas Riset dan Debat (KRD) Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro.
2. Sebagai
tujuan deskriptif, yaitu untuk mengetahui dan menganalisis kelemahan-kelemahan
alasan permohonan Peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c dalam rangka mewujudkan keadilan
substantif dalam integrasi global.
3. Sebagai
tujuan edukatif, yaitu untuk mempelajari pembaharuan hukum yang berkaitan
dengan alasan permohonan Peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak dalam
rangka mewujudkan keadilan substantif dalam integrasi global.
Adapun manfaat yang ingin dicapai penulis,
adalah:
1. Secara akademis,
penelitian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai referensi mengenai alasan
permohonan Peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak dalam rangka
mewujudkan keadilan substantif dalam integrasi global.
2. Secara praktis,
penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran dan bahan masukan
bagi DPR dan Presiden, selaku lembaga yang berwenang untuk membuat
undang-undang yang berkaitan dengan Pengadilan Pajak.
3. Secara teoritis,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana pengembangan ilmu hukum,
terutama mengenai alasan permohonan Peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan
Pajak.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Pengadilan Pajak
2.1.1 Eksistensi Pengadilan Pajak di Indonesia
Dalam sebuah negara hukum, lembaga peradilan menjadi sangat penting
karena dalam sejarah, selalu ada pihak-pihak baik penyelenggaraan negara/
pemerintahan maupun rakyat yang melanggar ketentuan hukum.[6]
Pendapat yang senada diungkapkan oleh Sjachran Basah, bahwa peradilan merupakan
salah satu unsur penting dari negara hukum yang menunjuk kepada proses untuk
memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum.[7]
Pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang
tidak ada imbalannya yang secara langsung dapat ditunjuk. Peralihan
kekayaan demikian itu dalam kata sehari-hari hanya dapat berupa penggarongan,
perampokan, pencopetan (dengan paksa), atau pemberian hadiah dengan sukarela
dan ikhlas (tanpa paksaan).[8] Falsafah pajak yang dianut oleh
Inggris sama dengan di Indonesia yaitu “No Taxation Without Representation”
dan juga di Amerika “Taxation Without Representation is Roberry”.
Hubungan hukum antara Negara dengan Wajib Pajak ini dapat menimbulkan permasalahan atau dikatakan sebagai sengketa
pajak. Lembaga yang menyelesaikan sengketa pajak salah satunya adalah
Pengadilan Pajak. Pengadilan pajak sebagaimana yang diatur dalam UU Pengadilan Pajak, merupakan
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau
penanggung pajak yang mencari keadilan apabila terjadi sengketa pajak dengan fiskus atau pemungut pajak.[9] Hal
ini memberikan gambaran bahwa tugas dari Pengadilan Pajak adalah memberikan
perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang pengadilan pajak.
Menurut
Istiani, Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan
penerimaan pajak pusat, pajak daerah, bea masuk dan cukai, dalam prakteknya,
terkadang dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan terhadap para Wajib Pajak
itu sendiri. [10]
Karenanya, masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa
peningkatan kewajiban perpajakan/bea tidak memenuhi asas keadilan, sehingga
menimbulkan berbagai sengketa perpajakan sehingga dirasakan adanya suatu
kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk menanganinya.
Selanjutnya menurut Galang
Asmara, kebutuhan adanya suatu lembaga Peradilan Pajak didasarkan pada dua hal
sebagai berikut :[11]
1. Lembaga
Peradilan Pajak dan Konsep Negara Hukum
Keberadaan lembaga peradilan pajak bila dikaitkan dengan
konsep Negara Hukum adalah untuk menegakkan konsep Negara Hukum itu sendiri
yang menghendaki adanya penegakkan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum yang
ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait dengan
penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan pajak
oleh negara terhadap rakyatnya atau penduduk negara.
Pembangunan
merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah suatu kondisi dari suatu
tingkat yang dianggap kurang baik ke kondisi baru pada tingkat kualitas yang
dianggap baik atau paling baik.[12] Pembangunan
yang dilaksanakan tentu saja pembangunan yang memiliki pijakan hukum yang
jelas, bisa dipertanggung-jawabkan, terarah serta proporsional.
2.
Perlindungan Pajak dan Perlindungan
Hukum Bagi Rakyat
Lembaga Peradilan Pajak sebagai salah satu lembaga
perlindungan hukum terutama berfungsi di dalam memberikan perlindungan terhadap
Wajib Pajak dan penanggung pajak dari tindakan pemerintah di dalam memungut
pajak terhadap rakyat. Lembaga peradilan pajak disini berperan di dalam
menyelesaikan sengketa pajak, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan
antara Wajib Pajak dan penanggung pajak dengan pejabat yang
berwenang. Munculnya Pengadilan Pajak tidak terlepas suatu proses legal reform (pembaharuan hukum) dalam hukum
perpajakan yang sebelum dirasakan tidak memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat sebagai Wajib Pajak.
2.1.2. Peninjauan
Kembali dalam Peradilan Pajak
Menurut Rochmat
Soemitro, peradilan merupakan suatu kekuasaan (dalam arti functie) yang berdiri
sendiri berdampingan dengan kekuasaan lainnya.[13]
Sedangkan Sjachran Basah berpendapat bahwa peradilan adalah segala sesuatu yang
bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menentukan
hukum “in concreto” dalam
mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materill, dengan menggunakan cara
prosedural yang diterapkan
hukum formal.[14]
Rochmat
Soemitro, merumuskan peradilan pajak sebagai suatu proses dalam hukum pajak
yang bermaksud memberikan keadilan dalam sengketa pajak, baik kepada wajib
pajak maupun kepada pemungut pajak (pemerintah), sesuai dengan ketentuan
undang-undang (hukum positif). Proses itu merupakan rangkaian perbuatan yang
harus dilakukan oleh wajib pajak atau oleh pemungut pajak di hadapaan suatu
instansi (administrasi atau pengadilan) yang berwenang mengambil keputusan
untuk mengakhiri sengketa. Sejalan dengan rumusan tersebut, peradilan pajak
mencakup hal yang luas, meliputi baik peradilan untuk penyelesaian perkara
tindak pidana fiscal maupun yang mengenai sengketa (administrasi pajak) yakni
sengketa yang timbul karena tidak adanya kecocokan tentang jumlah utang pajak
yang harus dibayar, yang terjadi antara wajib pajak dengan fiskus.[15]
Peninjauan
kembali dalam perkara di bidang perpajakan ialah upaya hukum luar biasa yang
merupakan sarana untuk memeperbaiki putusan hakim pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht
van gewijsde). Pengajuan peninjauan kembali tidak menghalangi
pelaksanaan/eksekusi putusan pengadilan pajak dan dapat dilakukan, baik sebelum
maupun sesudah eksekusi selama jangka waktu pengajuan masih terpenuhi.[16]
Adanya kesempatan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan
Kembali kepada Mahkamah Agung ini memecahkan masalah berupa keluhan para
pemohon banding/gugatan pencari keadilan maupun terbanding/tergugat.
Pelaksanaan
Peninjauan Kembali sesuai dengan Pasal 90 Undang-Undang Pengadilan Pajak
menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan Peninjauan Kembali
adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Dengan demikian, jelas bahwa seluruh
pengaturan Peninjauan Kembali di dalam Undang-Undang Mahkamah Agung berlaku
seluruhnya kecuali yang telah diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang
Pengadilan Pajak.
Upaya hukum
berupa permohanan Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa, di mana
untuk dapat mengajukan permohonan tersebut telah dibatasi apa yang menjadi
alasannya. Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak juga mengatur hal ini, di
mana permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan
alasan-alasan sebagai berikut :[17]
a. Apabila
putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada
bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim Pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila
terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila
diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan
yang berbeda;
c. Apabila
telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf
c Undang-Undang Pengadilan Pajak;
d. Apabila
mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya; atau
e.
Apabila terdapat suatu putusan yang
nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berbeda.
Berdasarkan kelima
alasan-alasan pengajuan permohonan
peninjauan kembali maka, fokus
penulisan dalam karya tulis ini membahas mengenai
Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak.
2.2. Keadilan Substantif
Publik sejauh ini merasakan dan menilai
bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur,
formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa.
Faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang kaku
dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim harus mampu
menjadi living interpretator untuk menangkap semangat keadilan dalam
masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada
dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar la
bouche de la loi (corong undang-undang). Permasalahan sebagaimana tergambar
pada uraian tersebut agaknya memang tidak dapat dilepaskan dari dikotomi antara
keadilan substantif dan keadilan prosedural.
Keadilan substantif di dalam Black’s
Law Dictionary 7th Edition
dimaknai sebagai: “Justice
Fairly Administered According to Rules of Substantive Law, Regardless of Any
Procedural Errors Not Affecting The Litigant’s substantive Rights”.[18] (Keadilan
yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif dengan tanpa melihat
kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif Penggugat).
Hal Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja
disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Sebaliknya, apa
yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan
substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran prosedural
asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan
substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang.
Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan
undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada
formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus
menjamin kepastian hukum.
Keadilan substantif terfokus atau
berorientasi kepada nilai-nilai fundamental yang terkandung didalam hukum.
Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek prosedural akan di
nomorduakan. Secara teoritik, kedalilan substantif dibagi ke dalam empat bentuk
keadilan, yakni kedailan distributif, kedalian retributif, keadilan komutatif,
dan keadilan korektif. Keadilan distributif menyangkut pengaturan dasar segala
sesuatu, buruk baik dalam mengatur masyarakat. Berdsarkan keadilan ini, segala
sesuatu dirancang untuk menciptakan hubungan yang adil antara dua pihak dengan
mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh keadilan.
Menurut Bambang Sutiyoso bahwa para pencari keadilan (justiciabellen) tentu sangat mendambakan
perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakim-hakim yang
professional dan memiliki integritas moral yang tinggi, sehingga dapat
melahirkan putusan-putusan yang tidak saja mengandung aspek kepastian hukum
(keadilan prosedural),
tetapi juga berdimensikan legal justice,
moral justice dan social justice. Karena keadilan itulah
yang menjadi tujuan utama yang hendak dicapai dari proses penyelesaian sengketa
di pengadilan.[19]
2.3. Reformatio
in Peius
Secara
gramatikal reformatio in peius memiliki dua kata dasar yaitu reformatio
yang berarti change atau perubahan, dan peius yang berarti
worse atau lebih buruk, sehingga jika diartikan kata demi kata artinya
adalah perubahan menjadi lebih buruk. Di
Indonesia, Reformatio in peius diartikan sebagai diktum putusan yang
justru tidak menguntungkan Penggugat. Dalam mengartikan reformatio in peius,
buku II Mahkamah Agung tidak membedakan apakah yang dimaksud dengan diktum
putusan adalah diktum putusan pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat
banding atau kasasi, sehingga oleh karenanya dapat diartikan sebagai diktum
putusan di segala tingkat peradilan.[20]
Sebagaimana
asas dari reformatio in peius dimana yang memungkinkan Hakim meluruskan
tindakan Tergugat yang berakibat amar putusan justru semakin tidak menguntungkan
Penggugat, maka obyek gugatan yang dianggap tidak tepat tersebut memang sudah
seharusnya dibatalkan terlebih dahulu untuk kemudian dicabut dan diterbitkan
surat keputusan yang baru yang isinya semakin tidak menguntungkan Penggugat
sesuai dengan kesalahannya.[21]
BAB
III
METODE
PENELITIAN
Metode
penelitian merupakan faktor penting dalam penulisan yang bersifat ilmiah. Hal
ini dikarenakan metode penelitian merupakan salah satu unsur yang harus
dipenuhi dalam upaya untuk mencari dan menemukan kebenaran melalui penelitian
secara ilmiah.[22]
Lebih lanjut, Dyah Ochtorina Susanti mengungkapkan bahwa metode merupakan cara
kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.[23]
Penelitian hukum
adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.[24]
Dengan demikian, metode penelitian hukum merupakan cara kerja untuk memahami
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab
isu hukum yang dihadapi. Sehubungan dengan hal tersebut, agar tercipta suatu
karya tulis ilmiah yang sistematis dan terarah untuk menghasilkan argumentasi yang
dapat dipertangungjawabkan, maka dalam penelitian karya tulis ilmiah ini akan
digunakan metode penelitian sebagai berikut:
3.1. Tipe Penelitian
Tipe
penelitian yang dipergunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah penelitian
hukum. Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa: [25]
“Lalu,
apakah perlu istilah penelitian hukum normatif? Menurut pendapat saya tidak
perlu karena istilah legal research
atau bahasa Belanda rechtsonderzoek
selalu normatif. Sama halnya dengan istilah yuridis-normatif yang sebenarnya
juga tidak dikenal dalam penelitian hukum. Jika type penelitian harus dinyatakan dalam suatu tulisan, cukup
dikemukakan bahwa penelitian ini adalah penelitian hukum. Dengan pernyataan
demikian sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat normatif.”
Penelitian
ini dimaksudkan untuk mengkaji konsep-konsep hukum yang kemudian dirumuskan
sebagai suatu gagasan yang dapat direalisasikan dalam kerangka berjalannya
aktivitas hidup bermasyarakat secara tertib. Dengan demikian, karya tulis
ilmiah ini dimaksudkan untuk merumuskan kembali alasan permohonan peninjauan
kembali atas Putusan Pengadilan Pajak sehingga dapat mendukung tercapainya
keadilan subtantif dalam integrasi global.
3.2
Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses
pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan
sehingga mencapai tujuan penelitian.[26]
Dalam pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan
masalah yang dipergunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).
Pendekatan
perundang-undangan (statute approach)
digunakan untuk menbahas rumusan masalah nomor 1 (satu) yang berkaitan dengan
kesesuaian alasan permohonan peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak
terhadap tujuan pembentukan Pengadilan Pajak, sedangkan pendekatan konseptual (conseptual approach) digunakan untuk
menemukan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum
yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan berkaitan dengan isu hukum
yang dikaji oleh penulis. Selain itu, pendekatan konseptual (conseptual approach) juga digunakan
untuk menbahas rumusan masalah nomor 2 (dua) yang berkaitan dengan pembaharuan
hukum terhadap alasan permohonan peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan
Pajak dalam rangka mewujudkan keadilan substantif dalam integrasi global.
3.3
Sumber Bahan Hukum
Bahan
hukum merupakan sarana dan alat dari suatu penelitian yang digunakan untuk
memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang
seharusnya diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber hukum yang digunakan
dalam karya tulis ilmiah ini, yaitu
:
3.3.1
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum
primer mempunyai sifat autoritatif, yang artinya mempunyai otoritas. Bahan
hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.[27]
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian karya tulis ilmiah ini,
terdiri dari:
1 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2 2.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
3 3.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
4 4.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
5 5.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman;
3.3.2
Bahan Hukum Sekunder
Sumber
bahan hukum sekunder merupakan sumber bahan hukum yang yang diperoleh dari
semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum tersebut meliputi literatur ilmiah, buku-buku, kamus hukum,
jurnal hukum, serta komentar-kementar atas putusan pengadilan.[28]
Sumber bahan hukum sekunder digunakan untuk memberikan semacam “petunjuk” bagi
penulis ke arah mana penulis melangkah dan sebagai panduan berpikir dalam
menyusun argumentasi untuk membahas isu hukum yang dikaji oleh penulis. Sumber
bahan hukum sekunder yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah
sebagaimana yang tercantum dalam daftar pustaka.
3.3.3
Bahan Non Hukum
Bahan
non hukum merupakan bahan yang digunakan sebagai penunjang dan yang memberikan
petunjuk maupun kejelasan terhadap hukum primer dan sekunder. Bahan non hukum
dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan penelitian. Bahan non hukum
dapat berupa buku, jurnal, laporan, penelitian, dan lain-lain (buku-buku
politik, ekonomi, teknik, filsafat, kedokteran, kebudayaan, dan lain-lain)
sepanjang relevan dengan objek penelitian yang dibahas.[29]
Dalam penelitian ini, bahan non hukum yang digunakan berupa buku pedoman
penulisan karya ilmiah, laporan penelitian non hukum atau jurnal non hukum dan
bahan-bahan lainnya sepanjang mempunyai relevansi dengan isu hukum yang dibahas
dalam karya tulis ilmiah ini.
3.4
Analisis
Bahan Hukum
Metode analisis
bahan hukum yang penulis gunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah
menggunakan analisis deduktif, yaitu cara melihat suatu permasalahan secara
umum sampai dengan pada hal-hal yang bersifat khusus untuk mencapai preskripsi
atau maksud yang sebenarnya. Langkah selanjutnya yang digunakan dalam melakukan
suatu penelitian hukum adalah
: [30]
1.
Mengidentifikasi
fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu
hukum yang hendak dipecahkan;
2.
Pengumpulan bahan-bahan hukum dan
bahan-bahan non hukum yang dipandang mempunyai relevansi;
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang
diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk
argumentasi dan menjawab isu hukum; dan
5. Memberikan perskripsi berdasarkan
argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.
Sesuai dengan langkah-langkah diatas,
sebelumnya penulis mengidentifikasi fakta hukum dan telah menetapkan isu hukum
yang akan dibahas. Selanjutnya, penulis mengumpulkan bahan-bahan yang relevan
dengan bahan hukum yang relevan dengan isu yang akan dibahas, dan melakukan
telaah terhadap isu hukum yang akan dibahas. Isu hukum yang akan dianalisis
oleh penulis adalah alasan permohonana peninjauan kembali sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak. Penulis akan menganalisis dengan menggunakan
analisis deduktif untuk menarik kesimpulan
dalam bentuk argumentasi dan menjawab isu hukum, serta memberikan preskripsi
berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.
Berdasarkan metode penelitian yang
diuraikan di atas diharapkan di dalam penulisan karya tulis ilmiah ini mampu
memperoleh jawaban atas rumusan masalah sehingga memperoleh hasil yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan dapat memberikan
preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan diterapkan.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1. Alasan
Permohonan Peninjauan Kembali Atas Putusan Pengadilan Pajak Sebagaimana Yang
Tercantum Dalam Pasal 91 Huruf C Dalam Tujuan Pembentukan Pengadilan Pajak
Tujuan dan
fungsi merupakan landasan dan dasar tertinggi bagi terciptanya sebuah aturan
hukum. Tanpa tujuan dan fungsi yang jelas dari suatu aturan hukum, maka
keberlakuan hukum tersebut akan menjadi tidak jelas dan tidak bisa maksimal
dalam hal penerapannya.[31]
Satjipto
Rahadjo berpendapat bahwa hukum merupakan suatu institusi yang bertujuan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia.[32] Selain
itu, hukum bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dan ketertiban, dan juga
digunakan sebagai sarana untuk mencapai keadaan keseimbangan yang membawa
ketentraman dalam hati setiap orang, dan jika diusik atau dilanggar akan
menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan. Dengan demikian, hukum tidak hanya
harus mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan, ketertiban, dan
kepastian hukum, tetapi juga harus mencarikan keseimbangan antarkepentingan
yang bertentangan satu dengan yang lain.[33]
Oleh karena itu, setiap ketetapan dan aturan hukum pasti memiliki tujuan dan
fungsi luhur, yaitu untuk mewujudkan keadilan.
Pengadilan Pajak
didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan penerimaan pajak pusat,
pajak daerah, bea masuk dan cukai, dalam prakteknya, terkadang dilakukan tanpa
adanya peningkatan keadilan terhadap para Wajib Pajak itu sendiri. Karenanya,
masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan
kewajiban perpajakan/bea tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan
berbagai sengketa perpajakan sehingga dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk
mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk menanganinya.
Dalam sistem peradilan pajak, Pengadilan Pajak adalah
pengadilan yang pertama dan terakhir dalam memeriksa, memutus, dan mengadili
sengketa pajak. Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal banding dan kasasi
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 80 ayat 2 UU Pengadilan Pajak yang menjelaskan
bahwa Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir
pemeriksaan atas sengketa pajak dan terhadap putusannya tidak dapat lagi
diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Dengan demikian, satu-satunya upaya
hukum yang tersedia adalah upaya hukum luar biasa yang berupa peninjauan
kembali yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 93
UU Pengadilan Pajak.
Instrumen peninjauan kembali merupakan bentuk komitmen nyata
dari pemerintah untuk mewujudkan penyelenggaraan penyelesaian Sengketa Pajak
yang dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah, dan
sederhana sebagaimana yang terdapat dalam Paragraf 2 Penjelasan Umum UU
Pengadilan Pajak. Peninjauan kembali merupakan instrumen yang diberikan negara
agar sengketa pajak yang terjadi antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak
dengan pejabat yang berwenang dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Dengan
demikian, prosedur peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak harus dapat
mengakomodir nilai-nilai keadilan, termasuk alasan permohonan peninjauan
kembali.
Alasan permohonan peninjauan kembali telah
ditentukan dalam Pasal 91 UU Pengadilan Pajak, yang salah satunya adalah dikabulkannya
suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut kecuali putusan
yang berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya dan menambahkan pajak yang
harus dibayar. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Hakim Pajak itu
tidak dapat memutus ultra petita atau
memutus lebih dari yang dituntut dalam surat gugat. Namun, Hakim Pajak dapat
memberikan putusan yang semakin memberatkan posisi Penggugat melalui putusan
yang berupa menambah jumlah pajak yang harus dibayar atau yang lazim disebut reformatio in Peius.
Berdasarkan Pasal
2 UU Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak
didefinisikan sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.
Pasal
tersebut secara eksplisit menegaskan bahwa tujuan dari pembentukan Pengadilan
Pajak adalah untuk mewujudkan keadilan bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak
dalam sengketa pajak. Hal ini berarti bahwa sistem peradilan pajak harus
menjamin dan mengakomodir nilai-nilai keadilan sehingga tidak ada orang yang
merasakan ketidakadilan di hadapan hukum. Dengan demikian, segala prosedur
dalam sistem peradilan pajak, termasuk peninjauan kembali atas putusan
pengadilan pajak, harus mencerminkan asas keadilan.
Pada hakikatnya, permohonan peninjauan
kembali dapat memenuhi dimensi legal
justice. Hal ini dikarenakan para pihak yang bersengketa memiliki hak yang
sama untuk melakukan peninjauan kembali sebagaimanan yang tercantum dalam Pasal
77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak. Dengan demikian, hal tersebut sesuai dengan
filosofi legal justice yang
menginginkan penegakkan dan perlakuan yang adil dan merata dari semua individu
berdasarkan hukum. Namun sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pengaturan
mengenai peninjauan kembali ditentukan secara limitatif dalam UU Pengadlilan
Pajak sehingga dimensi legal justice
bukan hanya harus diejawantahkan dalam para pihak yang dapat mengajukan
peninjauan kembali, tetapi juga dalam alasan permohonanan peninjauan kembali
tersebut.
Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak merupakan bentuk
pengurangan terhadap hak-hak dari Wajib Pajak atau penanggung Pajak selaku justiciabellen. Hal ini dikarenakan
putusan yang memberatkan Wajib Pajak atau penanggung Pajak tidak dapat diajukan
peninjauan kembali. Tidak dapat diajukannya putusan yang bersifat reformatio in peuis sebagai alasan
permohonan peninjauan kembali dalam sistem peradilan pajak di Indonesia
merupakan perlakuan tidak adil ketika fiskus dapat mengajukan peninjauan
kembali pada putusan yang meringankan Wajib Pajak atau penanggung pajak,
misalkan putusan yang berisi pembatalan terhadap keputusan fiskus terhadap
nilai pajak yang harus dibayar oleh penggugat sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 80 ayat (1) huruf f UU Pengadilan Pajak.
Menurut Hart, prinsip umum legal justice menuntut bahwa para individu di hadapan yang lainnya
berhak atas kedudukan relatif berupa kesetaraan atau ketidaksetaraan tertentu
yang dijabarkan melalui postulat “perlakukan hal-hal serupa dengan cara yang
serupa dan perlakukanlah hal-hal yang berbeda dengan cara yang berbeda”.[34] Alasan
permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 91 huruf c
UU Pengadilan Pajak tidak memberikan kedudukan yang setara terhadap pihak yang
bersengketa dalam Pengadilan Pajak. Hal ini dikarenakan fiskus dapat mengajukan
permohonan peninjauan kembali terhadap putusan yang meringankan Wajib Pajak
atau penanggung Pajak, sedangkan Wajib Pajak atau penanggung Pajak tidak dapat
mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan yang memberatkan dirinya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa alasan permohonan peninjauan kembali
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak
mengandung dimensi legal justice.
Berkaitan dengan moral
justice, moral justice
(keadilan moral) tidak lain dari keadilan
berdasarkan moralitas, yaitu standar baik dan buruk. Aturan-aturan yang berlaku
dalam masyarakat merupakan aturan-aturan yang sesuai norma-norma moral yang
dianut masyarakat. Bahkan, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa “hukum yang
hukum” dan bukan “hukum yang bukan hukum” adalah hukum yang sarat dengan
nilai-nilai moral, bukan yang sekedar diadakan untuk kepentingan pihak
berkuasa.[35]
Alasan
permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c
UU Pengadilan Pajak merupakan bentuk penegasian terhadap hukum yang sarat
dengan nilai-nilai moral bangsa Indonesia. Dengan mengikrarkan diri sebagai
bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, Bangsa
Indonesia berkomitmen bahwa segala hal yang ada di Indonesia harus memberikan
ruang dan kesempatan bagi setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang
manusiawi dan adil. Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak memang akan dapat
membuat proses penyelesaian sengketa perpajakan
melalui Pengadilan Pajak dapat dilakukan secara cepat, karena sudah memperoleh
kekuatan hukum tetap, tetapi pasal tersebut tidak cukup mengakomodir
kepentingan para pencari keadilan. Hal ini dikarenakan upaya
hukum tersebut tidak dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan pajak yang
berupa menambah pajak yang dibayar oleh penggugat. Padahal, tidak tertutup
kemungkinan adanya kesalahan hakim dalam melakukan penghitungan terhadap pajak
yang harus dibayar oleh penggugat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Pasal
91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak mencerminkan dimensi moral justice.
Dalam
konteks social justice, aturan hukum
harus mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian
keuntungan dari kerja sama sosial berdasarkan prinsip kemanusiaan dan keadilan
atau kesepakatan antara pihak yang terlibat. Konsep social justice dimaksudkan agar tidak ada pihak yang dirugikan
dalam kerja sama tersebut. Konsep ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu interpretasi terhadap situasi awal/original position atas persoalan pilihan
yang ada, dan adanya seperangkat prinsip yang akan disepakati.[36]
Alasan permohonan peninjauan kembali
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak
memberikan posisi yang tidak seimbang antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak
dengan fiskus. Dengan tidak memberikan akses bagi permohonan peninjauan kembali
atas putusan yang berupa penambahan pajak yang harus dibayar, UU Pengadilan
Pajak telah meletakkan dasar-dasar diskriminasi terhadap hak-hak dasar
individu. Sebagai lex specialis
terhadap UU Pengadilan Tata Usaha Negara, UU Pengadilan Pajak juga mengemban
tugas mulia untuk memberikan perlindungan kepada para pencari keadilan dengan
menegaskan status quo awal bahwa antara fiskus dan
Wajib Pajak atau penanggung Pajak adalah setara sebagaimana filosofi dalam
Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
situasi awal/original position Wajib Pajak atau penanggung Pajak
dengan fiskus dalam alasan
permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c
UU Pengadilan Pajak tidak mengandung kesetaraan.
Esensi dari pembentukan pengadilan
pajak adalah untuk
mewujudkan penyelenggaraan penyelesaian Sengketa Pajak yang dilakukan dengan
adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Berkaitan
dengan esensi tersebut, prinsip yang disepakati dalam pengadilan pajak adalah
prinsip keadilan. Menjadikan peninjauan kembali sebagai satu-satunya upaya
hukum yang dapat digunakan terhadap putusan pengadilan pajak merupakan cara
yang paling efektif untuk mewujudkan peradilan pajak yang memiliki prosedur dan
proses yang cepat, murah, dan sederhana. Namun, hal tersebut tidak boleh
menegasikan asas keadilan yang menjadi landasan dalam penyelesaian sengketa
pajak. Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak sesuai dengan makna kesetaraan dalam
konsep keadilan sebagai fairness, karena
fiskus memiliki posisi yang lebih tinggi daripada Wajib Pajak atau penanggung
Pajak dimana terdapat putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan peninjauan kembali
oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak.
Dalam konteks permohonan peninjauan
kembali atas Putusan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan pajak di
Indonesia, keadilan substantif sebagai sumber keadilan prosedural masih
bersifat konsep parsial dan belum menjangkau seutuhnya ide-ide dan realitas
yang seharusnya menjadi bagian intrinsik dari konsep dan penegakan keadilan. Penegakan
hukum yang berjalan selama ini terkesan kuat masih berorientasi dalam bentuk
keadilan prosedural yang sangat menekankan pada aspek regularitas dan penerapan
formalitas legal semata. Oleh karena itu, perlu adanya reformulasi dalam alasan
permohonan peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak agar dapat mewujudkan
keadilah substantif dalam integrasi global.
4.2. Pengaturan
di Masa Mendatang mengenai Alasan Permohonan Peninjauan Kembali atas Putusan
Pengadilan Pajak dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Integrasi
Global
Pada era global,
Indonesia dihadapkan pada pangsa pasar yang terbuka dan luas dimana pertukaran
barang dan jasa masuk sebebas-bebasnya. Padangan mengenai globalisasi sebagai
proses transformasi bebas hambatan dan mekanismenya di serahkan pada pangsa
pasar sebebas-bebasnya padahal tidak demikian, globalisasi sesungguhnya
diibaratkan dengan “pagar rumah” yang terbuka, namun dalam rumah tersebut tetap
mempunyai aturan main yang harus diikuti oleh para “tamu” yang datang ke
“rumah” tersebut. Dalam konsep “pagar rumah” tersebut menandakan bahwa
kehidupan suatu kelompok masyarakat tidak satu pun yang membiarkan kehidupannya
dan teritorialnya tanpa hukum.
Sejatinya suatu
Negara mempunyai kedaulatan yang mana Negara lain tidak bisa mencampuri urusan
dalam negeri karena, aturan main itu di ciptakan oleh “tuan rumahnya”. Sistem
global tidak berlangsung bebas kontrol dari suatu Negara karena globalisasi
bukan merupakan jalan tanpa mekanisme. Mekanisme tersebut sebagai petunjuk
hubungan antar Negara dengan Negara lain yang di bangun atas
perjanjian-perjanjian yang telah di sepakati. Ketika Negara sepakat akan
melakukan suatu usaha di dalamnya berarti Negara tersebut sepakat dan telah
siap untuk tunduk pada hukum Negara tersebut. seperti halnya di Indonesia,
ketika investor asing menanamkan modalnya dan mendirikan usaha-usaha di
Indonesia maka investor asing tersebut wajib membayar pajak sebagaimana hal ini
telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Pembayaran Pajak.
Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar negara yang digunakan untuk
melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada
dasarnya, pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada
negara yang hasilnya juga akan dikembalikan kepada masyarakat. Oleh sebab itu,
pemungutan pajak harus mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri mengenai
jenis dan besarnya pajak yang akan dipungut.[37] Hal
tersebut mengacu pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segala pungutan pajak harus berdasarkan
undang-undang”. Sebaliknya bila ada pungutan yang namanya pajak, tetapi
tidak berdasarkan undang-undang maka pungutan tersebut bukanlah pajak, tetapi
lebih tepat disebut dengan perampokan (taxation
without representation is robbery).
Setiap anggota
masyarakat khususnya masyarakat yang tergolong sebagai wajib pajak pada
dasarnya harus patuh dan mau melunasi kewajibannya untuk melunasi utang
pajaknya dengan baik dan benar untuk meratakan pendapat masyarakat. Hal ini
merupakan hal yang sangat vital karena sifatnya mikro dan khusus/tertentu serta
mempunyai bidang tersendiri dalam suatu lingkup yang lebih besar (makro), yaitu
keuangan Negara dan hal ini adanya keterkaitan dan ketergantungan, antara
pemungutan pajak merupakan perwujudan pengabdian masyarakat dan tidak terlepas
dari peran serta wajib pajak di satu pihak. Di lain pihak, tanpa adanya wajib
pajak dan peran serta mereka untuk membayar pajak, pemungutan pajak tidak akan
terlaksana.
Pemungutan pajak
terhadap Wajib Pajak diawali dengan adanya surat ketetapan pajak (SKP) yang
dikeluarkan oleh aparatur pajak (fiskus) mengenai jumlah pajak yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak. Sifat interdependensi ini diwujudkan di dalam sistem
pengadilan pajak nasional yang bersifat pengabdian dan pengawasan atas
pelaksanaan keputusan yang diambil oleh birokrat atau eksekutif, dan
berdasarkan keadilan dan kebenaran.
Dalam praktik,
surat ketetapan pajak tersebut menimbulkan suatu sengketa atau perselisihan.
Sengketa pajak terjadi karena adanya ketidaksamaan persepsi atau perbedaan
pendapat mengenai penetapan pajak terutang yang diterbitkan oleh fiskus.[38]
Perbedaan penetapan pajak tersebut dapat berupa perbedaan mengenai jenis maupun
jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak.
Penyelesaian
sengketa pajak di Indonesia menjadi kompetensi absolut dari pengadilan pajak
(untuk banding dan gugatan).[39]
Berbeda halnya dengan upaya keberatan yang menjadi kewenangan dari kantor pajak
yang mengeluarkan SKP. Karakteristik keputusan Pengadilan Pajak berbeda dengan
keputusan yang dikeluarkan oleh eksekutif sebagai tingkat pertama. Pengadilan
Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan
memutus sengketa Pajak. Oleh karena itu, keputusan Pengadilan Pajak bersifat
final dan mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde). Hal tersebut tidak menutup kemungkinan tidak ada
upaya hukum terhadap putusan pengadilan pajak, maka diperlukan lembaga
peninjauan kembali.
Lembaga
peninjauan kembali (herzeining) hadir
sebagai suatu upaya hukum luar biasa yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak
apabila keputusan Pengadilan Pajak dinilai kurang memuaskan. Berdasarkan
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
dinyatakan bahwa:
Peninjauan
Kembali ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum luar biasa, di samping akan
mengurangi jenjang pemeriksaan ulang vertikal, juga penilaian terhadap kedua
aspek pemeriksaan yang meliputi aspek penerapan hukum dan aspek fakta-fakta
yang mendasari terjadinya sengketa perpajakan, akan dilakukan sekaligus oleh
Mahkamah Agung.
Pengajuan
peninjauan kembali tidak menghalangi pelaksanaan/eksekusi putusan pengadilan
pajak dan dapat dilakukan, baik sebelum maupun sesudah eksekusi selama jangka
waktu pengajuan masih terpenuhi.[40]
Adanya kesempatan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan
Kembali kepada Mahkamah Agung ini memecahkan masalah berupa keluhan para
pemohon banding/gugatan pencari keadilan maupun terbanding/tergugat karena
telah ada upaya perbaikan mengenai putusan pengadilan pajak. Jadi, keberadaan
peninjauan kembali bertujuan sebagai sarana terakhir (ultimum remedium) yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak untuk
menyelesaikan sengketa pajaknya apabila upaya hukum yang telah dilakukan (mulai
keberatan, banding dan gugatan) hasilnya tidak memuaskan bagi dirinya.
Peninjauan
kembali pada hakikatnya menerapkan asas kepatutan/billijheid semestinya dapat dijadikan sarana untuk membetulkan
kekeliruan sekaligus melindungi sikap tindakan Penjabat Pajak maupun Hakim
dalam menerapkan peraturan perundang-undangan perpajakan.[41]
Oleh karena itu, menjadi kewenangan Mahkamah Agung sebagai pucuk tertinggi
pemutus terakhir para pihak yang bersengketa melalui putusan peninjauan
kembali.
Peninjauan
Kembali
dapat diajukan jika ada novum atau
bukti baru yang ditemukan, kemudian setelah perkara diputus dan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Apabila dilihat dalam Pasal 91
huruf c mengenai alasan-alasan pengajuan peninjauan kembali dalam pengadilan
pajak disebutkan bahwa: “Apabila telah dikabulkan
suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut, kecuali yang
diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c.” Selanjutnya
dalam Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c disebutkan bahwa: “Putusan pengadilan pajak dapat berupa: b.
mengabulkan sebagian atau seluruhnya; c. menambah Pajak yang harus dibayar.”
Menurut hemat penulis, ketentuan tersebut menimbulkan suatu ketidakadilan dan
tidak adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak an sich, tetapi juga bagi masyarakat secara luas.
Ketidakadilan
dan tidak adanya kepastian hukum yang terdapat dalam ketentuan diatas muncul
karena dinegasikannya beberapa syarat yang seharusnya dapat dijadikan sebagai
alasan-alasan diajukannya peninjauan kembali. Dalam Pasal 91 huruf c terdapat
terdapat frasa “kecuali yang diputus
berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c.” Makna yang terkandung
dalam frasa tersebut memberikan isyarat bahwa beberapa putusan yang dijatuhkan
oleh pengadilan pajak tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Padahal, setiap
putusan yang dihasilkan oleh para hakim tidak pernah lepas dari kekeliruan atau
kekhilafan. Maka akibatnya keadilan yang ditutup oleh kepastian hukum.
Kekeliruan atau
kekhilafan hakim dalam putusannya telah mengakibatkan putusan yang tidak
menguntungkan (reformation in peius)
dan kerugian terhadap Pemohon Banding atau Penggugat. Meskipun penyelesaian
sengketa melalui jalur litigasi (pengadilan) menghasilnya putusan yang bersifat
menang atau kalah (win or lose).
Dalam praktik, putusan pengadilan pajak justru menambah jumlah pajak yang harus
dibayarkan oleh Wajib Pajak. Hal tersebut jelas telah merugikan Pemohon Banding
atau Penggugat.
Sebagaimana
diketahui bahwa hukum yang mengatur mengenai pajak masuk dalam ranah hukum
publik. Hal tersebut berarti pada hakikatnya setiap penyelesaian sengketa pajak
yang timbul adalah untuk melindungi kepentingan publik/umum. Sehingga keadilan
yang dicari adalah keadilan substantif. Mengutip pernyataan Satjipto Rahardjo
bahwa, “pengadilan boleh dikatakan sebagai suatu badan yang memutuskan keadilan
berdasarkan aturan dan prosedur yang sudah ditentukan. Maka sejak saat itu pula
kita berbicara tentang adanya dua macam keadilan yaitu keadilan substansial (substantial justice) dan keadilan formal
(legal justice).”[42]
Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi asas equality before the law, sudah seharusnya penegakan hukum harus
selalu berorientasi terhadap tujuan utama dalam hukum yaitu keadilan.
Ketentuan dalam
Pasal 91 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
secara in concreto telah menimbulkan
permasalahan hukum terhadap para pencari keadilan (justitiabellen) yang merasa bahwa putusan yang dijatuhkan oleh
pengadilan pajak telah jauh dari makna keadilan. Keterbatasan syarat yang
secara formal-prosedural telah diatur dalam Pasal a quo menghasilkan putusan yang tidak berpihak kepada keadilan
substantif. Alasan pengajuan peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak haruslah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk mencapai
dan menegakkan hukum dan keadilan. Sesuai dengan kredo yang dikenal dalam ilmu
hukum, yaitu “fiat justitia ruat coelum”
(hukum harus ditegakkan sekalipun langit runtuh).
Upaya
pencapaian kepastian hukum (rechtzekerheid)
sangat layak diadakan pembatasan, namun upaya untuk pencapaian keadilan hukum (rechtvaardigheid) tidaklah demikian,
karena keadilan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar, lebih
mendasar dari kebutuhan manusia tentang kepastian hukum. Kebenaran materiil
mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara mengandung sifat
kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan. Oleh karena itu,
upaya hukum untuk menemukan kebenaran materiil dengan tujuan untuk memenuhi
kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Pada prinsipnya,
penyempurnaan terhadap Peninjauan Kembali dengan memasukkan konsep reformatio in peius ke dalam alasan
peninjauan kembali dengan menghasilkan suatu kebenaran. Bahkan dengan adanya
rumusan konsep reformatio in peius
semua putusan pengadilan pajak dapat memperoleh kebenaran dan berkeadilan
substantif. Menurut teori kebenaran pragmatis, bahwa suatu pernyataan atau
pemikiran dikatakan benar apabila dapat mendatangkan manfaat atau kegunaan pada
banyak orang. Manfaat atau kegunaan yang dimaksud berarti dapat dilaksanakan
dan ditindaklanjuti dalam perbuatan secara nyata. Dalam hal ini ketika konsep reformatio in peius dimasukkan ke dalam
alasan peninjauan kembali putusan hakim maka
dapat mengantarkan manusia pada kesejahteraan dan membuat manusia
bahagia untuk terwujudnya keadilan substantif.
Selain itu, parameter keadilan substantif dilihat dari prinsip equality before the law yakni dimana
penegakan dan perlakuan harus secara adil dan merata dari semua individu
berdasarkan hukum tanpa pandang bulu bagi para pihak yang dapat mengajukan
peninjauan kembali, dan juga dalam alasan permohonanan peninjauan kembali.
Disisi lain, parameter keadilan substantif dapat dilihat pada nilai-nilai moral
yang terkandung pada aturan-aturan hukum yang hidup (living law) dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Perkembangan nilai-nilai moral menunjukan baik atau benar. Nilai-nilai
moralitas masyarakat diukur dengan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis.
Kedinamisan nilai-nilai moral dalam masyarakat yang sudah berakar pada jiwa
raga masyarakat tersebut memiliki semangat untuk mendapatkan keadilan
substantive secara penuh.
Reformatio
in peius sudah menjadi keniscayaan yang harus
diterima oleh Wajib Pajak apabila dictum
hakim dalam putusannya menambah jumlah pajak yang harus dibayarkannya. Hakim
niscaya merupakan seorang tokoh sentral dalam pengadilan. Melalui
putusan-putusannya, keadilan diberikan kepada para pencari keadilan atau
masyarakat. Apabila putusan tidak mengadung makna keadilan, sudah seharusnya
putusan tersebut harus dapat digugat. Pengadilan dan sistem peradilan yang ada
dirasakan tidak memadai lagi untuk menyalurkan keinginan masyarakat memperoleh
keadilan.[43]
Dengan demikian, pengadilan dan hakimnya tidak steril terhadap pikiran, ide-ide
dan gagasan-gagasan yang berkembang di sekelilingnya.
Ketentuan dalam
pasal a quo sangat jelas mengurangi
hak-hak masyarakat yang dijamin oleh UUD 1945. Prinsip equality before the law yang terdapat dalam salah satu ciri negara
hukum terciderai dengan adanya pengecualian aturan yang formal-prosedural yang
tidak menciptakan keadilan substantif bagi para pencari keadilan. Senada dengan
itu, menurut Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa:[44]
Penegakan hukum
pada hakikatnya mengandung supremasi nilai substansial yaitu keadilan. Namun,
semenjak hukum modern digunakan, pengadilan bukan lagi tempat untuk mencari
keadilan (searching of justice).
Pengadilan tidak lebih hanya menjadi lembaga yang berkutat pada aturan main dan
prosedur. Hukum kemudian tidak lagi dapat menyediakan keadilan sebagai trade mark-nya selama ini. Keadilan
telah main secara dramatis di lembaga-lembaga peradilan dibawah rezim hukum
modern. Lembaga peradilan yang semula sebagai house of justice harus berubah menjadi tempat untuk menerapkan
peraturan perundang-undangan dan prosedur.
Dari ungkapan
pernyataan diatas, jelas memberikan gambaran bahwa keadilan berada ditangan
hakim di pengadilan pajak. Namun, keadilan tidak dapat dicapai sebagai akibat
dari adanya pembatasan syarat atau alasan untuk dilakukannya upaya peninjauan
kembali terhadap putusan pengadilan pajak. Mengingat hukum bukanlah tujuan dari
manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan substantif harus
lebih didahulukan ketimbang keadilan prosedural, hal ini semata-mata agar dapat
menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-problem kemanusiaan.[45]
Parameter keadialan
substantif tidak hanya dilihat dari prinsip equality
before the law dan moral justice, tetapi juga social justice. Aturan hukum harus
mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental yang berdasarkan prinsip
kemanusiaan dan keadilan atau kesepakatan antara pihak yang terlibat serta
mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental dan menentukan pembagian
keuntungan dari kerja sama sosial berdasarkan prinsip kemanusiaan dan keadilan
atau kesepakatan antara pihak yang terlibat. Berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UU
Pengadilan Pajak semua pihak berhak untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali
(PK) yang mana pada posisi awal menurut Pasal 91 huruf c pihak fiskus terdapat
ketimpangan dimana pihak fiskus dapat melakukan Peninjauan Kembali terhadap
putusan yang dapat meringankan wajib pajak sedangkan wajib pajak tidak dapat
melakukan Peninjauan kembali terhadap putusan yang memberatkan dirinya. Secara
otomatis, agar terciptanya kesetaraan maka konsep reformatio in peius sangat tepat apabila dimasukkan ke dalam alasan
permohonan Peninjauan Kembali untuk mewujudkan keadilan substantif.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan
permasalahan yang dikemukakan dan setelah dianalisis permasalahan, maka dapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Alasan
permohonan Peninjauan Kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 91 huruf c UU
Pengadilan Pajak tidak sesuai dengan tujuan pembentukan Pengadilan Pajak. Hal
ini dikarenakan alasan tersebut tidak mencerminkan legal justice, moral justice
serta social justice; dan
2. Adanya
Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak telah memberikan pembatasan terhadap para
Pemohon Banding atau Penggugat untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan
Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu rekonstruksi dalam alasan
permohonan peninjauan kembali sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan subtantif
dalam integrasi global, yaitu melalui penerapan reformatio in peius.
5.2
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di
atas, penulis memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Lembaga Legislatif bersama-sama
dengan Presiden perlu merekonstruksi ketentuan dalam Pasal 91 huruf c Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Semula berbunyi : “c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang
tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus
berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c” maka frasa dalam pasal
tersebut harus dirubah menjadi “c.
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada
yang dituntut.” Perubahan frasa di dalam Pasal 91 huruf c tersebut akan
menjadi dasar adanya alasan untuk permohonan peninjauan kembali sebagai upaya
untuk mewujudkan keadilan substantif dengan penerapan reformatio in peius; dan
2.
Hakim dalam Pengadilan Pajak
Hakim
dalam Pengadilan Pajak yang sekarang masih sangat kental dengan prosedur,
formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa
pajak. Namun, untuk masa yang akan datang “mindset”
hakim yang sangat kaku dan normatif-prosedural harus dirubah menjadi living interpretator dan tidak
terbelenggu oleh kekuatan normatif-prosedural saja yang ada dalam
undang-undang, karena pada dasarnya hakim sekarang ini bukan lagi sekedar la
bouche de la loi (corong undang-undang). Melainkan hakim yang dapat
menggali hukum yang hidup (the living law)
dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga keadilan substantif yang
sebenarnya dapat dicapai dalam integrasi global.
[1] Direktorat Jenderal Pajak RI. http://www.pajak.go.id/content/news/peran-pajak-terhadap-pembangunan-nasional-dan-daerah, diakses Senin, 26 Oktober
2015 pukul 21.53 wib.
[2] Hukum Online. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53212059c938b/sengketa-pajak-cenderung-meningkat, diakses Senin, 26
Oktober 2015 pukul 22.22 wib.
[3] Gatot Supramono. 2010. Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan
Perhitungan. Yogyakarta: Andi Offset, hal: 17.
[4] Hadi Supeno. 2010. Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal
Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal: 197.
[5] Sudikno Mertokusumo. 1983. Sejarah Pengadilan dan
Perundang-undangannya Sejak Tahun 1942 dan Apakah Manfaatnya Bagi Kita Bangsa
Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
hal:
2-3.
[6] Galang Asmara. 2006. Peradilan
Pajak dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum Pajak di Insonesia. Yogyakarta: LaksBang
Pressindo, hal: 1.
[7] Ibid., hal:
3.
[8] Soemitro, Rochmat. 1998.
Asas dan Dasar Perpajakan 1. Bandung:
PT. Refika Aditama,
hal: 8.
[9] Dewi Kania Sugiharti. 2005. Perkembangan
Peradilan Pajak di Indonesia. Bandung:
Refika Aditama, hal:
72.
[10] Nisa Istiani. Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau
Peradilan Indonesia.
http://www.pemantauanperadilan.com/detil diakses
Minggu, 25
Oktober 2015 pukul 12.00 WIB.
[11] Galang Asmara, Op.Cit., hal: 8-12.
[12] Niniek Suparni. 1992. Pelestarian,
Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, hal: 36.
[13] Rochmat Soemitro. 1976. Masalah
Peradilam Administrasi Dalam Hukum Pajak di Indonesia.
Bandung-Jakarta: Eresco,
hal: 4.
[14] Sjachran Basah. 1989. Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia.
Bandung: Alumni,
hal: 23.
[15] Dewi Kania Sugiharti. 2005. Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, hal: 4-5.
[16] Jamal Wiwoho dan Lulik
Djatikumoro.
2004. Dasar-Dasar Penyelesaian
Sengketa Pajak. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal: 121.
[17] Lihat dan baca Pasal 91
Undang-Undang Nomo 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
[18] Bryan A.
Garner (ed.). 1999. Black‟s Law Dictionary, 7th Edition,
Amerika: West Group, hal: 869.
[19] Bambang
Sutiyoso. (2010). Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan. Jurnal Hukum. 17(2), 221-235.
[20] Mahkamah
Agung RI. 2009. Buku
II Mahkamah Agung RI tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, hal: 82.
[21] Tri Cahya
Indra Permana. 2013. Reformatio in Peius.
Surabaya: PTUN Surabaya,
hal: 9.
[22] Dyah Ochtorina Susanti. 2014. Penelitian
Hukum, Jember: Fakultas Hukum Universitas
Jember, hal: 3
[23] Ibid., hal: 25
[24] Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hal: 60.
[25] Ibid, hal: 55-56.
[26] Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal: 112.
[27] Ibid.,
hal:
184-195.
[28] Ibid.,
hal: 195-196.
[29] Ibid., hal: 204-206.
[30] Ibid.,
hal: 213.
[31] Hasanudin Yanggo. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT.
Pustaka Al Husna Baru, hal:
50.
[32] Romli Atmasasmita. 2012.
Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi
Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Yogyakarta:
Genta Publishing, hal: 89.
[33] CST. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, hal:
41.
[34] H. L. A. Hart. 2010. Konsep hukum. Bandung: Nusamedia, hal: 197-198.
[35] Satjipto Rahardjo. 2007.
Membedah Hukum Progresif. Jakarta:
Kompas Media Nusantara, hal: 262.
[36] John Rawls. 2006.
A Theory of Justice, Teori Keadilan.
diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
hal: 274
[37] Wirawan B. Ilyas. 2014. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat,
hal: 13
[38] Atep Adya Barata. 2002 Memahami Prosedur Beracara Di Pengadilan Pajak, Jakarta: Sociadana, LP3AB-IBTA, hal: 5.
[39] Muhammad Djafar Saidi. 2007 Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak, Jakarta: Rajagrafindo Persada, hal: 60-62.
[40] Jamal Wiwoho dan Lulik
Djatikumoro. 2004
Dasar-Dasar Penyelesaian
Sengketa Pajak, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal: 121.
[41] Syofrin Syofyan. 2004 Hukum Pajak dan Permasalahannya,
Bandung: Refika Aditama, hal: 66.
[42] Satjipto
Rahardjo. 2010. Sosiologi
Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Yogyakarta: Genta Publishing,
hal:
148.
[43] Ibid., hal. 155.
[44] Satjipto Rahardjo. 2013. Penegakan
Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, hal: ix.
[45] Faisal. 2014. Memahami
Hukum Progresif,
Yogyakarta: Penerbit Thafa Media, hal:
89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar