BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Korupsi
adalah masalah terbesar bagi semua negara dunia dan tergolong kepada kejahatan
Transnasional. Korupsi menjalar sebagai sebuah kejahatan lintas negara dan
menimbulkan dampak kerugian sistemik diseluruh negara-negara di dunia. Dampak
sistemik dari korupsi menyebabkan terganggungnya kesejah-teraan, stabilitas
hukum, politik dan ekonomi suatu negara. Hal ini dibuktikan
melalui data yang diperoleh dari Bank dunia (2008) memperkirakan bahwa lebih
dari US$10 milyar atau sekitar 5% dari GDP dunia setiap tahun hilang
dikarenakan korupsi.[1]
Dalam konteks global, dunia international telah bersama-sama berkomitmen untuk
memberantas korupsi dengan dilahirkannya“The United Nations Convention against Corruption” selanjutnya disebut
UNCAC pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida,
Meksiko. Konvensi ini menjadi momentum awal dunia internasional dalam rangka
memerangi kejahatan korupsi.
Korupsi dalam UNCAC dikatakansebagai “an insidious plague that has a wide range of
corrosive effects on societies. It undermines democracy and the rule of law,
leads to violations of human rights, distorts markets, erodes the quality of
life and allows organized crime, terrorism and other threats to human security
to flourish. This evil phenomenon is found in all countries—big and small, rich
and poor— but it is in the developing world that its effects are most
destructive. Corruption hurts the poor disproportionately by diverting funds
intended for development, undermining a Government’s ability to provide basic
services, feeding inequality and injustice and discouraging foreign aid and
investment. Corruption is a key element in economic underperformance and a
major obstacle to poverty alleviation and development”[2], dari pandangan ini dapatlah dikatakan bahwa korupsi adalah
suatu kejahatan “extra-ordinary crime”
(kejahatan luar biasa).
Korupsi sebagai bagian dari extra-ordinary crime, juga hadir di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Terkait hal tersebut, pemerintah Indonesia menun-jukkan keseriusan
komitmennya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang ditunjukkan
dengan pembentukan berbagai regulasi dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi yang tertuang di dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih,
Bebas, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Selanjutnya disebut UU
Tipikor); Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pembentukan Tim
Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun
2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Selain di tingkat nasional,
bentuk keseriusan pemerintah Indonesia juga ditunjukkan di tingkat
internasional dengan melakukan Ratifikasi terhadap UNCAC sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006
tentang Pengesahan United Nations
Convention Againts Corruption 2003.
Pemberantasan korupsi menjadi salah satu fokus utama
Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan law enforcement. Berbagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
baik preventif maupun represif telah dilaksanakan. Upaya preventif terhadap
tindak pidana korupsi dilakukan dengan cara meningkatkan pendidikan dan budaya
anti korupsi, kemudian meningkatkan koordinasi dalam rangka mekanisme pelaporan
pelaksanaan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan upaya represif
dilakukan dengan pemberian sanksi pidana yang berat hingga adanya ketentuan
pidana mati dalam UU Tipikor bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Selain
itu, sebagai wujud konkrit untuk lebih menekan angka korupsi di Indonesia, pada
tahun 2002 dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Meskipun berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan,
namun faktanya pada tahun 2014 berdasarkan Corruption Perseption Index (CPI)
yang dikeluarkan oleh Transparency International (TI) menyebutkan bahwa
Indonesia berada diurutan 107 dari 175 negara terbersih di dunia.[3] Hal tersebut masih jauh dari harapan agar Indonesia terbebas
dari korupsi yang masih menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Praktik tindak pidana korupsi di Indonesia kini telah menjalar ke berbagai lini
negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Tabulasi Data Penanganan
Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan berdasarkan instansi
periode tahun 2004-2014 (per 31 Oktober 2014)[4], menempatkan lembaga eksekutif sebagai lembaga dengan kasus
korupsi terbanyak dengan 180 dari 402 kasus yang ditangani. Lembaga Eksekutif
merupakan lahan basah praktik korupsi para birokrat atau aparatur sipil negara
guna memperkaya diri dengan memanfaatkan jabatannya. Dimana bukan saja para
pejabat atau para pimpinan Kementerian dan Lembaga (selanjutnya disebut K/L)
yang melakukan korupsi (grand corruption),
tanpa kecuali para pegawai-pegawai negeri sipil (petty corruption) yang berjalan secara sistematis dan meluas. Belum
lagi buruknya pelayanan publik atau birokrasi baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah menambah Pekerjaan Rumah bagi upaya terhadap Reformasi Birokrasi
serta terciptanya Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance) di lembaga Eksekutif.
Sebagai
kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime), maka korupsi perlu segera diberantas sampai
pada akarnya. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan memutus mata rantai korupsi di
Indonesia masih dapat dianggap kurang berjalan secara efektif. Apalagi data
menyebutkan korupsi di K/L berada di tingkat teratas dibandingkan dengan
lembaga-lembaga lainnya. Hal tersebut menandakan bahwa perlu adanya terobosan
baru dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya di lembaga
eksekutif. Seperti fenomena ‘puncak
gunung es’ tingkat praktik korupsi di K/L sudah berada di titik yang
memprihatinkan. Sehingga perlu sebuah terobosan pemberantasan korupsi yang
tidak hanya terhadap upaya pemberan-tasan korupsi saja, tetapi lebih mengarah
pada upaya pencegahan (preventif) guna menekan praktik korupsi di Indonesia,
khususnya bagi lembaga Eksekutif (K/L).
Indonesia harus belajar dari
negara Latvia yang menerapkan konsep ‘lustrasi’ (golden shake hand) bagi lembaga eksekutifnya. Latvia memberlakukan
sebuah undang-undang yang disebut dengan UU tentang Lustrasi. Menurut Mahfud
MD, konsep ‘lustrasi’ ini dinilai sebagai suatu konsep yang efektif dalam upaya
pemberantasan korupsi disana, dimana beliau menyatakan bahwa[5]:
Di Latvia, ada Undang-Undang tentang
Lustrasi. Ini semacam undang-undang yang mengatur pemotongan generasi. Yakni, memotong
generasi pejabat di era 1998 ke bawah sehingga seluruh pejabat lama diganti.
Dengan UU Lustrasi ini, negara Latvia yang dulunya terkenal sebagai negara
korup saat ini menjadi negara bersih tanpa korupsi.
Konsep lustrasi atau golden shake hand ini adalah konsep yang baru dalam strategi upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurutnya, ‘korupsi di judicial system itu hulunya di birokrasi yang tidak
beres’. Diharapkan dalam penerapan konsep tersebut dapat menekan bahkan
membasmi praktik korupsi di Indonesia yang saat ini sudah berada di titik yang
memperihatinkan. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka penulis tertarik
untuk menganalisis lebih lanjut dalam karya tulis ilmiah yang berjudul “GOLDEN
SHAKE HAND SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MEWUJUDKAN REFORMASI
BIROKRASI DAN GOOD GOVERNANCE DI
INDONESIA”
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan
diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam karya tulis ilmiah ini adalah:
1. Apakah
Golden Shake Hand dapat diterapkan
dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia?
2. Bagaimana
pengaturan mekanisme Golden Shake Hand
sebagai upaya pemberantasan korupsi dalam mewujudkan Reformasi Birokrasi dan Good Governance di Indonesia?
1.3.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari
penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah:
1. Untuk
menganalisis kesesuaian konsep Golden
Shake Hand apabila diterapkan di Indonesia;
2.
Untuk mengetahui pengaturan mekanisme Golden Shake Hand sebagai upaya
pemberantasan korupsi dalam mewujudkan Reformasi Birokrasi dan Good Governance di Indonesia.
1.4.
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini
adalah:
1. Sebagai
salah satu sarana menyampaikan gagasan mengenai pembaharuan penegakan hukum
terhadap pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
2. Sebagai salah satu perwujudan Tri Dharma
Perguruan Tinggi yakni pene-litian dan untuk memberikan wawasan, informasi,
serta sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat,
mahasiswa, serta para pihak yang tertarik dan berminat terhadap permasalahan
yang dihadapi.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1
Teori Sistem Hukum
Hukum
adalah suatu sistem[6],
yang terdiri atas sub-sub sistem yang saling terkait. Menurut Lawrence M.
Friedman, ada tiga unsur dalam sistem hukum,yaitu:[7]
Struktur Hukum (Legal Structure),
Substansi Hukum (Legal Substance),
dan Budaya Hukum (Legal Culture).
Pertama-tama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum, terus berubah,
namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap
bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang
yang berkesinambu-ngan. Inilah struktur sistem Hukum, kerangka atau rangkanya,
bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan
terhadap keselu-ruhan. Aspek lain sistem hukum adalah substansinya, yakni:
aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam
sistem hukum itu, ke-putusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka
susun. Penekannya disini terletak pada hukum yang hidup (Living Law), bukan hanya aturan dalam kitab hukum (Law Books).
Komponen
ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan
kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa
budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti seekor ikan
mati yang terkapar di dalam keranjang, bukan seperti seekor ikan hidup yang
berenang di lautan.[8]
2.2.Tindak
Pidana Korupsi
2.2.1.
Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Ditinjau dalam sudut pandang etimologi,
korupsi merupakan istilah asing yang diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam Webster Student Dictionary, Korupsi
merupakan istilah yang berasal yang dari
bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa coruptio itu berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa
latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa
seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari
Bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia yaitu “korupsi.”[9]
Di
dalam Black’s Law Dictionary, korupsi
adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan
yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain, secara
salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan
kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.[10]
Korupsi perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok dan sebagainya. Arti harfiah dari kata korupsi adalah kebusukan,
ke-burukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah”.
2.2.2. Bentuk-Bentuk
Tindak Pidana Korupsi
Menurut Aditjandra terdapat tiga macam
model korupsi.[11] Pertama,
berada dalam bentuk suap (bribery),
yakni dimana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa
dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar
denda ke kas negara, pemerasan (extortion)
dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas
pelayan publik lainnya. Kedua, jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan
perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Pada korupsi dalam bentuk ini
biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota
jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional. Ketiga,
korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan
aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh
lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha
maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang
menjadi anggota jaring-jaring korupsi internasional korupsi tersebut.
Jika
dilihat dari besarnya lingkaran aktor yang terlibat, korupsi dapat dibedakan
menjadi dua, yakni korupsi yang terkonsentrasi pada tingkat elit kekuasaan (grand corruption) dan korupsi yang
dilakukan secara ‘massal’ oleh oknum-oknum pegawai negeri sipil (petty corruption).[12]
Di Indonesia, kedua jenis korupsi ini telah menjadi kebiasaan dan berkembang
secara sistematis dan meluas. Namun, hal ini tidak berarti bahwa korupsi massal
yang dilakukan oleh pegawai negeri mempunyai jumlah yang lebih besar
dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh elit-elit politik. Dalam banyak
kasus justru sebaliknya, korupsi yang dilakukan oleh segelintir orang ditingkat
pusat mempunyai jumlah yang sangat besar, melebihi korupsi yang dilakukan oleh
orang-orang di tingkat bawah yang kecil angkanya. Pejabat rendahan akan
memiliki peluang yang lebih kecil karena kedudukannya, sementara pejabat tinggi
akan mempunyai kesempatan yang jauh lebih besar untuk mengkorup uang negara
atau publik.
2.3.
Reformasi Birokrasi
Reformasi
birokrasi secara etimologis terdiri dari dua kata yaitu reformasi dan
birokrasi. Reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang
sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan
birokrasi berasal
dari kata “bureau” yang berarti meja
atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) birokrasi adalah sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang
pada hirarki dan jenjang jabatan; dan cara bekerja atau susunan pekerjaan yang
serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak
liku-likunya dan sebagainya. Reformasi Birokrasi adalah suatu
perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi seperti kelembagaan, sumber daya
manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, aparatur, pengawasan dan
pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk memposisikan diri
(birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan
yang dinamis.
Perubahan
tersebut dilakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi birokrasi secara tepat,
cepat dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sesuai diamanatkan konstitusi. Perubahan
kearah yang lebih baik, merupakan cerminan dari seluruh kebutuhan yang bertitik
tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance. Melalui reformasi
birokrasi, dilakukan penataan terhadap sistem penyelangggaraan pemerintah yang
tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga reformsi birokrasi menjadi tulang
punggung dalam perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Kementerian
Perdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB),
reformasi birokrasi merupakan langkah strategis membangun sumber daya aparatur
negara yang profesional, memliki daya guna dan hasil guna yang profesional
dalam rangka menunjang jalannya pemerintah dan pembangunan sosial.[13]
Dalam
melaksanakan reformasi birokrasi perlu adanya sebuah prinsip atau pedoman atau
panduan sebagai tolak ukurnya. Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam
reformasi birokrasi di Indonesia antara lain[14]:
(i) Prinsip Outcomes Oriented; (ii)
Prinsip Keterukuran; (iii) Prinsip Efisien; (iv) Prinsip Efektivitas; (v)
Prinsip Realistik; (vi) Prinsip Konsisten; (vii) Prinsip Sinergi; (viii)
Prinsip Inovatif; (ix) Prinsip Kepatuhan; dan (x) Prinsip Dimonitor.
2.4.
Konsep Good Governance
Jika
mengacu pada program World Bank dan United Nation Development Program (UNDP)[15],
orientasi pembangunan sektor publik adalah menciptakan good governance. Pengertian good
governance sering diartikan sebagai tata kelola pemerintahan yang baik. Good governance atau tata kelola
pemerintahan yang baik merupakan proses penyelenggaraan birokrasi dalam pelayanan
barang dan jasa publik (public goods and services) yang dalam
pelaksanaannya harus senantiasa
berpegang pada prinsip-prinsip good
governance, yaitu: prinsip efektifitas (effectiveness),
keadilan (equity), partisipasi (participation), akuntabilitas (accountability) dan transparansi (transparency). Gunawan Sumodiningrat[16]
menyatakan good governance adalah
upaya pemerintahan yang amanah dan sejalan dengan kaidah penyelanggaraan
pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Agar good governance dapat menjadi kenyataan
dan berjalan dengan baik, maka dibutuhkan komitmen dan keterlibatan semua pihak
yaitu pemerintah dan masyrakat. Good
Governance yang efektif menuntut adanya “alignment” (koordinasi) yang baik dan integritas, profesional serta
etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian terselenggaranya good governance merupakan prasyarat
utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita
bangsanegara.
2.5. Golden Shake Hand
Menurut
Cambridge Dictionary[17]Golden Handshake adalah “A usually large payment made to people when
they leave their job, either when their em-ployer has asked to leave or when
they are leaving at the end of their working life, as a reward for very long or
good service in their job.”[18]
Pemberian tunjangan dalam jumlah besar ini diberikan oleh perusahaan dalam
rangka menjaga tingkat kesejahteraan pegawai yang telah mengundurkan diri dari
perusahaan. Dalam hal ini perusahaan menempatkan dirinya sebagai pengayom bagi
pekerja bukan hanya ketika mereka masih menjadi pekerja resmi, namun ketika
mereka telah memu-tuskan untuk tidak lagi menjadi bagian dari perusahaan
tersebut.
Sementara
itu, Golden Shake Hand menurut
USLEGAL adalah “stipula-tion
in an employment agreement which states that in the event of loss of the job,
the employer will provide a significant severance package. A golden handshake
is usually provided to top executives. The clause serves as protection against
loss of employment through layoffs, firing, or even retirement. The principal amount
so offered is free of tax.”[19]
Dari pengertian ini, pemberian golden
shake hand didasarkan kepada adanya klausul atau perjanjian kerja yang
sebelumnya telah disetujui oleh pekerja ketika mereka melamar dalam suatu
perusahaan. Pemberian golden shake hand
biasanya diberikan kepada pekerja yang telah lama mengabdi kepada suatu
perusahaan dan telah memberikan suatu kontribusi aktif bagi perusahaan.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi dalam penelitian hukum menguraikan tentang tata
cara bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilaksanakan. Penelitian hukum
adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.[20] Hal tersebut sejalan dengan dengan
pengertian yang dikemukakan oleh Morris L. Cohen, Legal Research is the process of finding the law that governs
activities in human society.[21] Selanjutnya Cohen menyatakan bahwa “It involves locating both the rules which
are enforced by the states and commentaries which explain or analyze these
rules”.[22]
3.1 Tipe Penelitian
Penelitian hukum dilakukan untuk
mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul.[23] Tipe Penelitian dalam karya tulis
ilmiah ini adalah Yuridis Normatif (legal
Research). Hukum sebagai konsep normatif adalah hukum sebagai norma, baik
yang diidentikkan dengan keadaan yang harus diwujudkan (ius constituendum) ataupun norma yang telah terwujud sebagai
perintah yang eksplisit dan yang secara positif telah terumus jelas (ius constitutum).[24]
3.2 Pendekatan Masalah
Terkait karya tulis ilmiah ini penulis menggunakan beberapa
pendekatan. Melalui pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dan berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan yang digunakan
penulis dalam karya tulis ilmiah ini adalah yuridis yaitu dengan menggunakan
antara lain :
1. Pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan ini
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani[25];
2. Pendekatan konseptual (conseptual approuch), pendekatan ini
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam
ilmu hukum. Dengan mempelajari pendangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam
ilmu hukum, penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang
relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi penulis dalam membangun suatu
argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.[26]
3.2.1 Sumber Bahan Hukum
Sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber
penelitian berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum non
hukum. Bahan hukum tersebut merupakan sarana bagi suatu penulisan yang
digunakan untuk memecahkan permasalahan sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang seharusnya. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan
artikel ilmiah ini adalah :
1.
Bahan
Hukum Primer
Bahan Hukum primer merupakan bahan
hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan
hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan
dan putusan-putusan hakim.[27] Bahan hukum primer yang digunakan
oleh penulis dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yaitu :
1. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan pegawai Negeri Sipil;
2. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai
Negeri Sipil.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan
hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis,
dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum. Disamping itu juga, kamus-kamus
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.[28] Bahan-bahan tersebut digunakan
untuk mendukung, mem-bantu, melengkapi, dan membahas masalah-masalah yang
timbul dalam penulisan ini. Pada penulisan ini bahan hukum sekunder yang
digunakan oleh penulis adalah buku-buku teks yang berkaitan dengan isu hukum
yang menjadi pokok permasalahan.
3.2.2
Analisis
Bahan Hukum
Metode analisis bahan hukum yang penulis gunakan dalam
penulisan ini adalah menggunakan analisa deduktif, yaitu dengan cara melihat
suatu permasalahan secara umum sampai dengan pada hal-hal yang bersifat khusus
untuk mencapai preskripsi atau maksud yang sebenarnya.[29] Peter Mahmud Marzuki menyatakan,
“Dalam menganalisa bahan yang diperoleh agar dapat menjawab permasalahan dengan
tepat dilakukan dengan langkah-langkah :
1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir
hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;
2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan
bahan-bahan non hukum yang dipandang mempunyai relevansi;
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang
diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk
argumentasi yang menjawab isu hukum; dan
5. Memberikan preskripsi berdasarkan
argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.
Sesuai langkah-langkah diatas,
sebelumnya penulis mengidentifikasi fakta-fakta hukum dan telah menetapkan isu
hukum yang akan dibahas. Selanjutnya mengumpulkan bahan-bahan yang relevan
dengan isu hukum yang akan dibahas. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian
digunakan untuk menelaah dan menganalisis isu hukum yang dibahas. Setelah
melakukan telaah kemudian penulis menganalisis dengan menggunakan analisis
deduktif yaitu analisis umum menuju ke khusus. Pada judul
yang dianalisis, GOLDEN SHAKE HAND SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM
MEWUJUDKAN REFORMASI BIROKRASI DAN GOOD
GOVERNANCE DI INDONESIA, dikaji menggunakan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan
pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Setelah itu memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi
yang dibangun dalam kesimpulan.
Berdasarkan metode penelitian yang
diuraikan diatas diharapkan didalam penilisan ini mampu memperoleh jawaban atas
rumusan masalah, sehingga memperoleh hasil yang dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya secara ilmiah.
BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
4.1 Penerapan Golden
Shake Hand di Indonesia
Konsep
Golden Shake Hand sebenarnya telah
ada di Indonesia, namun tidak banyak orang menyadari keberadaan dan betapa
besar manfaat dari penerapannya. Hal ini dapat dilihat dari
perusahaan-perusahaan nasional, baik nasional (BUMN) maupun swasta yang
menerapkannya. Hal ini dilakukan karena seiring dengan perkembangan dan
tuntutan jaman, perusahaan-perusahaan besar membutuhkan suatu kinerja dan
keuntungan (profit) perusahaan yang berjalan secara linear. Terkadang, suatu
perusahaan mengalami apa yang dina-makan dengan financial distress (kesulitan keuangan), sehingga mengeluarkan sebuah kebijakan-kebijakan strategis untuk
menanganinya, salah satunya adalah Golden
Shake Hand. Konsep inilah yang kemudian dinilai berhasil dalam mengeluarkan
suatu perusahaan saat terjadi financial distress.
4.1.1 Perusahaan-perusahaan yang menerapkan Golden Shake Hand
Penerapan
Golden Shake Hand di Indonesia saat
ini ada di 4 (empat) perusahaan nasional, yaitu: Telkom Indonesia, Garuda
Indonesia Airways, Merpati Nusantara Airlines dan Citibank. PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk. (Telkom) adalah perusahaan nasional yang pertama kali menerapkan
Golden Shake Hand sejak tahun 1995,[30]
yang dilakukan secara bertahap untuk merampingkan jumlah pegawai agar
perusahaan dapat bergerak lincah dalam kompetisi yang semakin ketat. Saat itu sebanyak 5.188 pegawai mengikuti
program tersebut. Bila dihitung sejak tahun 2002 hingga 2009 sudah sekitar 12
ribu pegawai mengambil program pensiun dini. Pada bulan Maret 2009 lalu,
sebanyak 1.156 pegawai telah mengkuti program pensiun dini.
Dalam persaingan industri
telekomunikasi yang sangat ketat, Telkom perlu mengantisipasi lingkungan bisnis
yang sangat cepat berubah dan sumberdaya yang efisien menjadi pertimbangan yang
sangat strategis. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional
perlu diterapkannya program Golden
Shake Hand dengan
cara menawarkan kepada para pegawai dengan memberikan kompensasi yang sangat
memadai jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Rata-rata para pegawai yang
melakukan Golden Shake
Hand ingin mengem-bangkan diri di luar
perusahaan sebagai second carrier.
Tidak sedikit pula di antara mereka umurnya sudah mendekati masa pensiun
sehingga mereka mungkin memilih berkiprah dalam bidang lain.
Golden shake hand
juga diterapkan oleh perusahaan penerbangan nasional Garuda Indonesia Airways. Menurut
Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar mengatakan bahwa[31]
‘Garuda saat ini telah banyak berubah,
namun tidak semua sumber daya manusianya mampu mengikuti perubahan tersebut’.
Lanjutnya menegaskan ‘bahwa dalam
memanage perusahaan harus mempunyai keseimbangan antara logika dan hati. Harus
adanya guidance bagai-mana cara untuk bertahan dan melanjutkan’. Garuda
menawarkan golden shake hand bagi
karyawannya dengan lebih dari 4 tahun gaji mereka dan memberikan pelatihan
kewirausahaan. Dengan begitu, karyawan yang mengikuti program golden shake hand diberikan bekal
setelah tidak bekerja kembali.
Selain
Telkom dan Garuda Indonesia yang menerapkan program golden shake hand bagi perusahaannya, Merpati Nusantara Airlines
juga menerapkan hal yang sama. Berbeda dengan kedua perusahaan diatas, Tujuan
menerapkan golden shake hand oleh
Merpati Nusantara Airlines adalah alasan karena kinerja keuangan yang belum
juga membaik.[32] Anak
perusahaan Garuda Indonesia ini beralasan juga untuk efisiensi perusahaan di
tengah persaingan perang tarif penerbangan perlu dilakukan pemangkasan
karyawan.
Citibank,
perusahaan yang bergerak di bidang perbankan juga melakukan program golden shake hand bagi karyawannya.
Multi National Corporation (MNC) ini sejak awal telah melakukan berbagai usaha
untuk mengalokasikan karyawan yang posisinya hilang ke posisi lain di bank
sesuai dengan kapabilitas dan pengalaman mereka. Namun, bagi yang tidak dan
mengalami posisi yang hilang kemudian ditawarkan Golden Shake Hand .[33]
Terkait penyelesaian dengan pihak
karyawannya, Citibank memastikan bahwa hingga saat ini sudah 99 persen karyawan
menerima program restrukturisasi ini (golden handshake program) berjalan
dengan sangat baik. Program restrukturisasi yang diberikan Citibank adalah
dengan memberikan kompensasi serta tunjangan yang sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
4.1.2 Manfaat Penerapan Golden Shake Hand
Suatu
konsep pasti memiliki suatu tujuan untuk dicapai, begitu pula dengan Golden Shake Hand. Secara umum Golden Shake Hand bertujuan untuk
menjamin kesejahteraan karyawan selepas mereka tidak lagi menjadi bagian dari
perusahaan. Biasanya Golden Shake Hand
diberlakukan oleh perusahaan yang ingin melakukan peremajaan dalam
perusahaannya dengan mempertimbangkan beberapa manfaat yang ada. Manfaat dari Golden Shake Hand dapat dilihat dari
beberapa sudut pandang. Jika dilihat dari sudut pandang pemberi Golden Shake Hand atau perusahaan, maka
pemberian Golden Shake Hand mempunyai
dua manfaat: yang pertama, terkait
alasan kelebihan karyawan, maka dengan diber-lakukannya Golden Shake Hand diharapkan biaya operasional perusahaan di masa
mendatang akan berkurang karena jumlah beban tanggungan perusahaan turut
berkurang sejalan dengan berkurangngnya jumlah karyawan. Kedua, untuk alasan menyegarkan perusahaan, pemberian Golden Shake Hand akan memutus rantai
generasi dari karyawan yang kurang produktif dan menggantinya dengan
karyawan-karyawan baru yang memiliki kompetensi lebih bagus dari sebelumnya
sehingga dengan adanya karyawan baru diharapkan mampu memunculkan ide-ide segar
yang nantinya berdampak kepada meningkatnya kinerja perusahaan.
Lebih
lanjut dilihat dari sudut pandang karyawan yang mendapatkan Golden Shake Hand, para karyawan merasa
diperhatikan kesejahteraan selepas mereka bukan lagi menjadi bagian dari
perusahaan. Selain itu pemberian Golden
Shake Hand juga dapat membuka peluang bagi karwayan tersebut untuk
mengem-bangkan diri diluar perusahaan. Diharapkan dengan adanya program Golden Shake Hand dapat memberikan suatu
tindakan solutif yang dapat menguntungkan baik bagi perusahaan maupun pekerja
yang tidak lagi menjadi bagian dari perusahaan tersebut. Jadi penerapan Golden Shake Hand di Indonesia saat ini
telah diterapkan oleh perusahaan-perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta.
4.2 Upaya
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
melalui mekanisme Golden Shake
Hand dalam Mewujudkan Reformasi
Birokrasi dan Good Governance di
Indonesia
4.2.1
Perwujudan Reformasi Birokrasi dan Good Governance dalam Pemberantasan
Korupsi di Indonesia
Reformasi birokrasi di Indonesia
sebenarnya telah dilakukan sejak akhir tahun 2005 yang lalu dengan
diterapkannnya pilot project
reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung dan Badan
Pemeriiksa Keuangan. Selanjutnya dikembangkanlah suatu kerangka kerja reformasi
birokrasi yang diwujudkan dalam Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025. Didalam Peraturan Presiden tersebut, terdapat sasaran dan indikator
keberhasilan reformasi birokrasi di Indonesia adalah ‘Ter-wujudnya Pemerintahan yang bersih dan bebas KKN’[34].
Dimana tujuannya adalah akan terciptanya suatu tatanan penyelenggaraan negara
yang efektif dan efisien.
Penyebab munculnya reformasi birokrasi
adalah adanya kebutuhan mela-kukan perubahan dan pembaharuan. Kebutuhan akan
perubahan dan pembaharuan tersebut terwujud jika didukung oleh kebijakan
politik (political policy) yang
strategis dan dijadikan suatu program nasional dengan dukungan seluruh rakyat.[35]
Reformasi birokrasi adalah langkah solutif dalam rangka membangun pemerin-tahan
negara yang mampu berjalan dengan baik (good
governance).
Pada hakikatnya birokrasi pemerintah
harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan
profesional. Birokrasi harus sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat dan
bekerja untuk memberikan pelayanan pri-ma, transparan, akuntabel, dan bebas
dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Semangat inilah yang
mendasari pelaksanaan reformasi birokrasi peme-rintah di Indonesia.
Namun sayang karena belum
termaksimalkannya upaya reformasi birokra-si di Indonesia, maka berdampak pada
pelayanan dan kinerja yang buruk hingga mengarah kepada terjadinya praktik
korupsi. Bahkan Tabulasi data ACCH KPK menyebutkan bahwa tingkat praktik
korupsi tertinggi berdasarkan instansi secara akumulasi di Indonesia berada
dalam lingkungan lembaga eksekutif, yaitu melipu-ti Kementerian atau Lembaga
(K/L), Pemerintah Provinsi serta Pemerintah Daerah.
Instansi
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
Jumlah
|
DPR RI
|
0
|
0
|
0
|
0
|
7
|
10
|
7
|
2
|
6
|
2
|
2
|
0
|
36
|
Kementerian/Lembaga
|
1
|
5
|
10
|
12
|
13
|
13
|
16
|
23
|
18
|
46
|
26
|
6
|
189
|
BUMN/BUMD
|
0
|
4
|
0
|
0
|
2
|
5
|
7
|
3
|
1
|
0
|
0
|
0
|
22
|
Komisi
|
0
|
9
|
4
|
2
|
2
|
0
|
2
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
20
|
Pemerintah Provinsi
|
1
|
1
|
9
|
2
|
5
|
4
|
0
|
3
|
13
|
4
|
11
|
2
|
55
|
Pemkab/Pemkot
|
0
|
0
|
4
|
8
|
18
|
5
|
8
|
7
|
10
|
18
|
19
|
0
|
97
|
Jumlah
|
2
|
19
|
27
|
24
|
47
|
37
|
40
|
39
|
48
|
70
|
58
|
8
|
419
|
Gambar 1: Tabulasi Data Penanganan
Korupsi Berdasarkan Instansi Tahun 2004-2015
Sektor-sektor di lembaga eksekutif
merupakan lahan basah praktik korupsi para
birokrat atau aparatur sipil negara guna memperkaya diri dengan meman-faatkan
jabatannya. Sektor-sektor tersebut masih kental dengan penyimpangan atau
penyalahgunaan wewenang (abuse the
authority) sebagai dampak dari mi-nimnya integritas, sistem karir dan
penggajian yang tidak berbasis kinerja. Selain itu, belum tersusunnya manajemen
kinerja serta standar pelayanan minimal, disamping perilaku masyarakat yang
serba instan dalam setiap urusan, turut berpe-ran memperburuk keadaan tersebut.[36] Kondisi yang demikian itu merupakan realita dalam sektor
pelayanan publik yang perlu dibenahi, dicegah dan dicarikan jalan keluarnya.
Hal demikian terjadi karena jika melihat pada ketentuan
normatif yang ada di Indonesia, memang bagi orang-orang yang duduk di ranah
eksekutif dalam hal ini yang menjadi fokus adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS)
telah ada aturan mengenai evaluasi kinerja atau yang dikenal dengan istilah
daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan yang diatur dalam ketentuan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Tapi anehnya tujuan dari daftar penilaian
pelaksaan pekerjaan adalah untuk memperoleh bahan-bahan pertimbangan yang objektif
dalam pembinaan PNS dan untuk menjamin objektivitas dalam mempertimbangkan pengangkatan
dalam jabatan dan kenaikan pangkat diadakan penilaian prestasi kerja saja.
Selain itu yang menjadi miris adalah dalam ketentuan Pasal 3 pada Peraturan
Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa terhadap setiap PNS dilakukan penilaian
pelaksanaan pekerjaan sekali setahun oleh pejabat penilai.
Padahal
seharusnya jika Pemerintah benar-benar sepenuh hati ingin me-lakukan reformasi
birokrasi di Indonesia, maka idealnya adalah hasil dari daftar penilaian
pelaksanaan pekerjaan tersebut juga menjadi acuan apakah orang tersebut masih
layak ada di kursi eksekutif dalam hal ini PNS ataukah tidak. Karena hanya akan
menjadi hal yang mubadzir ketika kebradaannya tidak memberikan dampak yang
signifikan terhadap perwujudan Good
Governace di Indonesia, tetapi malah menambah beban anggran negara yang
terbuang percuma.
4.2.2
Mekanisme Golden Shake Hand sebagai
Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Mewujudkan Reformasi Birokrasi
dan Good Governance di Indonesia
Mekanisme
Golden Shake Hand mungkin bagi
sebagian orang diiden-tikkan dengan istilah Pensiun Dini. Namun disini penulis
menegaskan bahwa konsep Golden Shake Hand
yang diusulkan oleh penulis adalah berbeda dengan istilah Pensiun Dini yang
diterapkan di Indonesia saat ini. Pensiun dini merupakan salah satu alasan
pemberhentian PNS yang ada dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
Selanjutnya dalam Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Administrasi Pemberhentian
Dengan Hak Pensiun Pegawai Negeri Sipil Secretariat Negara Republik Indonesia.
Disebutkan bahwa Pemberhentian Atas Permintaan Sendiri (Pensiun Dini) dapat
dilakukan oleh PNS yang telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun dan
mempunyai masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 20 tahun, dapat
mengajukan permohonan pemberhentian sebagai PNS dengan hak pensiun (pensiun
dini), dengan cara mengajukan permohonan berhenti sebagai PNS kepada Menteri
Sekretaris Negara u.p. Deputi Menteri Sekretris Negara Bidang Sumber Daya
Manusia.
Sedangkan konsep Golden Shake Hand yang diusulkan oleh
penulis memi-liki mekanisme yang berbeda. Berikut adalah mekanismenya:
1.
Dilakukan secara kontinue terhadap seluruh jajaran PNS yang ada dalam ranah
eksekutif;
2. Dilakukan
melalui mekanisme evaluasi kerja dan uji kompetensi.
Jadi
disini bagi orang-orang yang sudah menduduki posisi jabatan yang strategis
tidak lantas mereka bisa merasa tenang dengan jabatanyya, karena setiap
tahunnnya atas hasil dari evalusi, kinerja mereka akan terus dipantau, dan jika
masih ingin menduduki jabatan tersebut maka harus melakukan uji kompetensi
ulang. Hal ini bertujuan agar nantinya yang duduk di kursi eksekutif (dalam hal
ini PNS) adalah benar-benar orang yang teruji dan memiliki kompetensi juga komitmen
tinggi bagi perwujudan Good Governance
di Indonesia.
Tentu
saja bagi yang tidak dapat lolos mekanisme evaluasi kinerja dan uji kompetensi,
maka mereka harus segera keluar dari jabatannya sebagai PNS. Meski demikian
Pemerintah tidak serta merta melepaskan dan tidak memikirkan efek dominonya,
maka sebelum Golden Shake Hand
dilakukan, mereka diberikan pelatihan kewirausahaan, agar nantinya setelah
keluar dari PNS dapat mengem-bangkan diri dan tetap dapat mencukupi kebutuhan
hidupnya. Jadi nantinya ketika konsep ini diterapkan maka dapat pula menekan
beban pengeluaran yang ada dalam keuangan negara, menekan angka korupsi di
ranah eksekutif dan akhirnya diharapkan mampu mewujudkan Reformasi Birokrasi
dan Good Governance di Indonesia.
BAB
V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan
permasalahan yang dikemukakan dan setelah dianalisis per-masalahan, maka dapat
diperoleh simpulan sebagai berikut:
1. Angka
korupsi tertinggi yang terjadi di Indonesia ada pada ranah eksekutif. Hal ini
secara otomatis juga memperlambat terwujudnya Reformasi Birokrasi dan Good Governace di Indonesia. Meskipun
pereintah telah menerapkan mekanisme evaluasi kenerja yang ada dalam PP Nomor
10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai Negeri Sipil
namun ternyata hasilnya hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
2. Konsep
Golden Shake Hand merupakan jalan
alternatif pemberantasan korupsi di Indonesia. Dilakukan dengan mekanisme
evaluasi kerja dan uji kompetensi yang dilaksanakan secara continue terhadap seluruh jajaran PNS yang ada dalam ranah
eksekutif. Nantinya yang berhasil lolos maka akan tetap menduduki jabtannya
atau bisa juga akan dipindahkan kejabatan yang lebih tinggi, namun bagi yang
tidak berhasil lolos, maka akan diberikan pelatihan kewirausahaan dan kemudian
dilakukan Golden Shake Hand dengan
cara diberikan uang pesangon yang lebih besar dari hak pensiun perbulannya.
5.2
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis
memberikan beberapa rekomen-dasi sebagai berikut:
1. Harus
ada pengaturan secara normatif terkait konsep dan mekanisme dari Golden Shake Hand, karena bagaimapun
sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum maka konsekuensi logisnya adalah segala sesuatunya harus
berdasar atas hukum;
2. Harus
ada perubahan terhadap ketentuan mengenai evaluasi kinerja yang ada dalam PP
Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai Negeri
Sipil dan ketentuan mengenai pensiun dini yang ada dalam PP Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil.
DAFTAR
PUSTAKA
JURNAL:
Batubara, Alwi Hasyim. 2006. Jurnal
Analisis Administrasi dan Kebijakan. Vol. 3 Januari-April 2006(1)
Nawatmi, Sri. 2013. Korupsi Dan Pertumbuhan Ekonomi – Studi Empiris 33
Provinsi Di Indonesia (Corruption And Economics Growth In 33 Province – An
Empirical Study In Indonesia). Dinamika
Akuntansi, Keuangan dan Perbankan. Vol. 2(1)
BUKU:
Budi Winarno. 2008. Globalisasi: Peluang atau
Ancaman bagi Indonesia. Surabaya: PT. Erlangga.
Burhan, Ashofa. 2000. Metode
Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.
Djaja, Ermansjah. 2009. Memberantas Korupsi bersama
KPK. Jakarta: Sinar Grafika.
Effendy, Marwan. 2012. Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum
Pidana. Jakarta: Referensi.
Mahmud Marzuki, Peter. 2010. Penulisan
Hukum, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Sumodiningrat,
Gunawan. 2009. Pemberdayaan Masyarakat dan
JPS. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Thoha, Miftah. 2008. Reformasi Pemerintah Indonesia di Era
Reformasi. Jakarta: Prenada Media Group.
BUKU TERJEMAHAN:
M. Friedman, Lawrence. 2001. American Law:
An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) terjemahan dari Wishnu Basuki. Jakarta: PT. Tatanusa.
ORGANISASI SEBAGAI PENGARANG:
Kementerian
Perdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 2011. Buku 5: Kriteria Ukuran Keberhasilan Reformasi Birokrasi Indonesia.
KEMENPAN RB Republik
Indonesia.
SURAT KABAR:
Halili, 6
April 2010. Potong Generasi Korupsi.
Harian Kompas.
PUBLIKASI ELEKTRONIK:
Transparancy
International. Publikasi Corruptions
Perception Index (CPI) 2014. http://www.ti.or.id [20 April 2015]
Komisi
Pemberantasan Korupsi. Statistik Penanganan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan
Instansi. http://acch.kpk.go.id [19 April 2015]
Jaring
News. Politik Peristiwa: Untuk Berantas Korupsi Perlu Potong Satu Generasi di Birokrasi.
http://jaringnews.com [19 April 2015]
Cambridge
Dictionary. Golden Handshake. http://dictionary.cambridge.org [20 April 2015]
[1]
Nawatmi, Sri. 2013. Korupsi Dan Pertumbuhan Ekonomi – Studi Empiris 33
Provinsi Di Indonesia (Corruption And Economics Growth In 33 Province – An
Empirical Study In Indonesia). Dinamika
Akuntansi, Keuangan dan Perbankan. Vol. 2(1): 66
[2] Diterjemahkan di dalam Bahasa Indonesia: “Korupsi adalah sebuah wabah berbahaya yang memiliki berbagai efek korosif pada masyarakat. Korupsi merusak supremasi hukum dan demokrasi, melanggar hak asasi manusia, mendistorsi pasar, mengikis tingkat kualitas hidup masyarakat dan memungkinan untuk munculnya kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman lain terhadap keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Fenomena kejahatan ini ditemukan di semua negara baik negara maju ataupun berkembang, negara kaya ataupun miskin – namun dampak kerusakan terbesar dirasakan oleh negara berkembang. Korupsi merugikan masyarakat kecil dengan merampas dana yang ditujukan untuk pengembangan, merusak kemampuan pemerintah untuk melakukan pelayan dasar, menyuburkan ketidaksetaraan dan ketidak adilan, menghambat bantuan luar negeri dan investasi. Korupsi merupakan elemen kunci dalam pelambatan laju ekonomi dan kendala utama untuk pengentasan kemiskinan dan pembangunan.
[3]http://www.ti.or.id/index.php/publication/2014/12/06/corruption-perceptions-index-2014 (diakses pada tanggal 17 April
2015 pukul 00.16 WIB)
[4]http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-instansi (diakses pada tanggal 17 April
2015 pukul 00.31 WIB)
[5]http://jaringnews.com/politik-peristiwa/interview/13105/mahfud-md-untuk-berantas-korupsi-perlu-potong-satu-generasi-di-birokrasi (diakses
pada tanggal 17 April 2015 pukul 19.30)
[6]Lili
Rasidji dan Ida Bagus Wyasa Putra. 1993. Hukum
Sebagai Suatu Sistem, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hlm. 93-125
[7]Lawrence
M. Friedman. 2001. American Law: An
Introduction Second Edition (Hukum
Amerika Sebuah Pengantar) terjemahan dariWishnu Basuki. Jakarta: PT.
Tatanusa. hlm. 7-9
[8]Ibid. yang menyebutkan terminologi ‘without legal system, the legal system is
inert – a dead fish lying inn a basket, not a living fish swimming in its sea’.
[9] Ermansjah Djaja. 2009. Memberantas Korupsi bersama KPK. Jakarta:
Sinar Grafika. hlm. 6
[10]Henry Campbell Black dalam Marwan
Effendy. 2012. Sistem Peradilan Pidana:
Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana. Jakarta: Referensi.
hlm. 80
[11]Aditjandra dalam Budi Winarno.
2008. Globalisasi: Peluang atau Ancaman
bagi Indonesia. Surabaya: PT. Erlangga. hlm. 66
[12]Ibid.
[13]Kementerian Perdayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 2011. Buku 5: Kriteria
Ukuran Keberhasilan Reformasi Birokrasi Indonesia. KEMENPAN RB Republik
Indonesia
[14]Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand
Design Reformasi Birokrasi 2010-2025
[15] Alwi Hasyim Batubara. 2006. Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan.Vol
3.Januari-April 2006(1).hlm. 3
[16] Gunawan Sumodiningrat. 2009. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 251
[17]http://dictionary.cambridge.org/dictionary/british/golden-handshake(diakses pada
tanggal 19 April 2015 pukul 04.20 WIB)
[18] Terjemahan Bahasa Indonesia:
“Tunjangan dalam jumlah besar yang diberikan kepada pekerja yang meninggalkan
pekerjaan mereka, baik ketika mereka diminta untuk mengundurkan diri atau
ketika mereka mengundurkan
diri secara sukarela di akhir masa kerja mereka, sebagai sebuah penghargaan
atas pengabdian dan pelayanan mereka.”
[19] Terjemahan Bahasa Indonesia:
“Ketentuaan dalam perjanjian kerja, bahwa dalam hal hilangnya suatu pekerjaan,
atasan wajib untuk menyediakan paket pesangon yang signifikan. Golden Handshake
biasanya diberikan kepada eksekutif puncak, yang diberikan sebagai perlindungan
terhadap hilangnya pekerjaan dikarenakan pemutusan hubungan kerja (PHK),
pemecatan, atau pensiun Tunjangan diberikan secara penuh dan bebas pajak.
[20]
Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 35
[21]
Morris L.Cohen & Kent C. Olson. Legal
Research, West Publishing Company, St. Paul, Minn. Hlm.1 Sebagaimana
dikutip dalam buku Peter Mahmud Marzuki, Penulisan
Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 29
[22]
Enind Campbell, et al, Legal Research,
The Law Book Company, Melbourne, 199, hlm. 271 Sebagaimana dikutip dalam buku
Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 29
[23]
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit. hlm. 41
[24] Ashofa Burhan. 2000. Metode
Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 33
[25]
Ibid, hlm. 93
[26]
Ibid, hlm. 95
[27]
Ibid, hlm. 141
[28]
Ibid. hlm. 155
[29]
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm.
171
[30]http://www.telkom.co.id/telkom-kembali-tawarkan-pensiun-dini.html(diakses pada
tanggal 21 April 2015 pukul 12.39 WIB)
[31]http://rumahperubahan.com/index.php?option=com_content&task=view&id=182&Itemid=57 (diakses pada
tanggal 21 april 2015 pukul 12.45 WIB)
[32]http://nasional.kompas.com/read/2008/03/20/13231465/434.pegawai.merpati.segera.dirumahkan (diakses pada tanggal 21 April 2015 pukul 13.00 WIB)
[33]http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/01/28/08092836/ini.alasan.citibank.phk.karyawan (diakses pada
tanggal 21 April 2015 pukul 13.13 WIB)
[34] Selain itu juga :’Terwujudnya Peningkatan kualitas layanan
publik kepada masyarakat’ dan ‘Meningkatnya
kapabilitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.’ Ramadhani Ardiansyah.
dalamDesain Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi di Indonesia – Mari Belajar Dari yang Terbaik. Tangerang: STAN
Bintaro.
[35]Miftah Thoha. 2008. Reformasi Pemerintah Indonesia di Era
Reformasi. Jakarta: Prenada Media Group.hlm. 106-108
[36]Ibid. hlm. 84