Minggu, 31 Juli 2016

BURGERLIJK WETBOEK: Rechtboek of Wetboek? (Menggugat Eksistensi BW dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia)



Pendahuluan
Bagi mahasiswa pada Fakultas Hukum maupun Sarjana Hukum (meester in de rechten), sudah barang tentu tidak asing lagi dengan istilah Burgerlijk Wetboek (BW). Dimulai dari awal masuk perkuliahan sampai kepada menyusun skripsi, mahasiswa selalu menjumpai istilah tersebut. Begitupun pula kalangan praktisi dan akademisi, tidak pernah luput dan selalu berkutat dengan pasal-pasal yang ada dalam BW. Lantas, apakah yang dimaksud dengan BW? Apakah BW termasuk sebagai undang-undang atau hanya sebuah kitab atau yang lebih ekstrim disebut dengan kitab yang diterjemahkan? Dan bagaimana kedudukannya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?
Tema sentral tulisan ini adalah menakar kembali kedudukan BW dalam  tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tujuan utamanya tidak lain adalah untuk mendapatkan suatu gambaran (overzicht) utuh tentang arti penting BW yang masih berlaku hingga saat ini. Melalui tulisan ini juga, penulis akan mencoba menguraikan secara singkat problematika yang menyelimuti BW, baik dari segi istilah, asal-usul, bahkan eksistensinya yang lambat laun kian meredup.
Dilematik antara Burgerlijk Wetboek (BW) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Secara harfiah istilah BW atau yang mempunyai nama lengkap Burgerlijk Wetboek voor Indonesie jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lazim disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Nomenklatur perdata pertama kali dikemukakan Prof. Djojodigoeno, dimana beliau mengambil dari bahasa jawa yaitu berasal dari kata “perdoto” yang artinya perselisihan atau pertengkaran. Perdata sendiri merupakan terjemahan dari kata “burgerlijkrecht” pada masa kependudukan Jepang, selain dikenal juga istilah privatrecht/civilrecth.
Mengingat versi BW yang asli adalah berbahasa Belanda yang dijadikan sebagai pegangan atau pedoman, sehingga sangat perlu untuk diterjemahkan. Oleh karena itu, para ahli mencoba untuk menerjemahkan dan menafsirkan BW ke dalam bahasa Indonesia seperti yang dilakukan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio[3], dan bahkan banyak penerbit menerjemahkan BW secara individu. Perbedaan penerjemahan akan menimbulkan suatu kesesatan (dwang) dalam memahami dan memaknai isi dan maksud pasal-pasal yang berada di dalam BW.
Tidak adanya unifikasi dalam penerjemahan BW hingga saat ini menjadi salah satu pekerjaan rumah yang tak kunjung berakhir dalam menjamin keutuhan makna yang sebenarnya, disamping tugas utama melalukan pembaruan hukum perdata nasional. Dengan demikian untuk memudahkan uraian selanjutnya penulis akan menggunakan istilah BW dalam tulisan ini.
Menggugat Eksistensi BW: Perjalanan Historis menuju Keredupan
Asal muasal BW di Indonesia jika ditelusuri ke belakang memiliki keterka-itan sejarah yang panjang dengan bangsa Eropa sejak kekaisaran Romawi. Secara singkat dimulai kurang lebih pada abad ke-5 SM, Prancis ditaklukan Julius Caesar sebagai awal hukum Romawi diberlakukan di wilayah Prancis. Kemudian Kaisar Justinianus berkuasa, dibentuklah Corpus Iuris Civilis (524-565 M) dan saat kepe-mimpinan Raja Louis XV dimulainya awal kodifikasi yang menghasilkan Code Civil Prancis pada 21 Maret 1804. Revolusi Prancis pecah, Kekaisaran Prancis direbut oleh Napoleon Bonaparte. Tahun 1807 tercetuslah Code Napoleon (kodi-fikasi hukum perdata Prancis) yang menjadi cikal bakal lahirnya BW dan setahun kemudian disusul lahirnya Code Du Commerce (kodifikasi hukum dagang).
Code Napoleon dan Code Du Commerce juga diberlakukan bagi negara-negara wilayah jajahan Prancis salah satunya Belanda yang mulai berlaku sejak 1 Maret 1811. Pada tahun 1813 pendudukan Perancis berakhir dan Belanda merde-ka. Selanjutnya tahun 1814 Belanda mengadakan kodifikasi yang diketuai oleh. Mr. JM. Kempur yang bersumber dari Code Napoleon dan hukum Belanda kuno. Tepatnya tanggal 1 Oktober 1838 kodifikasi ini disahkan dengan nama: Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK) setelah disahkan oleh Raja.
Masuknya BW di nusantara dapat ditelusuri mengingat Indonesia (dahulu Hindia Belanda) pada waktu itu merupakan jajahan Belanda, maka hukum perdata Belanda yang sebagian besar merujuk kepada Code Civil itu, berdasarkan asas konkordansi diberlakukan pula bagi Indonesia. Pada 31 Oktober 1837, Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem didapuk menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. van Vloten dan Mr. Meyers masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J. Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi BW Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Stb. No. 23 dan mulai berlaku pada Januari 1848.
Berkenaan dengan berlakunya BW, tidak akan lepas dari politik hukum pemerintahan Hindia Belanda yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi 3 (tiga) golongan, yakni: Golongan Eropa; Golongan Timur Asing; dan Golongan Pribumi/Bumi Putera. Penggolongan tersebut diatur dalam Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling). Disamping itu juga, berdasarkan Pasal 131 IS (yang sebelumnya Pasal 75 RR) yang mengatur hukum apa yang berlaku bagi tiap-tiap golongan itu. Jadi, awal mulanya BW hanya berlaku bagi Golongan Eropa dan Golongan Timur Asing dengan beberapa pengecualian dan penambahan, sementara Golongan Bumi Putera berdasar kepada Pasal 131 ayat (6) IS berlaku hukum perdata adat, yaitu keseluruhan peraturan hukum yang tidak tertulis tetapi hidup dalam tindakan  tindakan rakyat sehari-hari. Dalam pada itu, hukum perdata adat masih belum seragam sesuai dengan banyaknya lingkungan hukum adat (adat rech skiringen) di Indonesia sebagaimana penelitian yang ditemukan oleh van Vollenhoven.
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, terjadi kekosongan baik pemerintahan dan dasar hukum, sehingga akan sangat mungkin timbul chaos atau kekacauan. Barulah pada tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya dasar hukum negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Tepatnya dalam Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945[4] menyatakan bahwa: “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Berdasarkan ketentuan diatas, BW dinyatakan masih tetap berlaku. Dengan begitu, BW secara mutatis mutandis disebut sebagai soko guru hukum perdata Indonesia.
Saat ini masih cukup banyak peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintah kolonial Belanda selain BW yang masih berlaku, karena belum diadakan yang baru menurut UUD 1945, [5] diantaranya Wetboek van Koophandel (KUHD), Wetboek van Strafrecht (KUHP), HIR[6] (Het Herziene Indonesich Reglement atau Reglemen Indonesia Baru, Stb. 1941 No. 44), RBg. (Reglement Buitengewesten, Stb. 1927 No. 227), dan Rv.[7] (Reglement op de burgerlijk rechtsvordering voorde raden van Justitie op Java en het Hoogerechtshof van Indonesie, alsmede voor de residentiegerechten op Java en Madura, Stb. 1847 No. 52 jo. Stb. 1849 No. 63). Padahal kalau kita melihat peraturan perundang-undangan yang disusun oleh pemerintah Belanda, jelas mempunyai landasan berpikir yang berbeda. Menurut R. Subekti, “cara berpikir orang Belanda itu bisa disamakan dengan cara berpikir yang abstrak, sedangkan cara berpikir kita yang tercermin dari Hukum Adat itu konkrit”. Selain cara berpikir yang berbeda, mentalitas antara Indonesia dan Belandapun juga terdapat perbedaan. Itupun yang dirasakan Ter Haar, cara berpikir yang menjadi hal yang determinan adalah unsur rasio, sedang mentalitas lebih mengedepankan sikap batin dan perilaku manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut menarik untuk diuraikan seperti dikemukakan oleh Koerniatmanto Soetoprawiro[8] dalam tulisannya yang berjudul “Mentalitas Barat dan Mentalitas Timur”. Dalam tulisannya, diperbandingkan pertemuan antara dua mentalitas dikotomis tersebut dalam konteks kebudayaan, bukan dalam konteks geo-politik. Tentu saja yang menjadi turning point-nya adalah mentalitas kebudayaan Indonesia. Holleman mengatakan bahwa mentalitas Indonesia itu dapat dirumuskan sebagai Kosmik, Komunal, Kontan, dan Konkrit (de vier C atau 4 K). Model mentalitas semacam ini banyak pula dikemukakan meski tak sepadat Holleman, seperti Ter Haar dam F.D.E. van Ossenbruggen. Sebagai contoh, kosmos disimbolkan secara konkrit seperti cara pendakian gunung yang melingkar menggambarkan suatu kosmos yang terbagi ke dalam 4 (empat) bagian. Keempat bagian ini disimbolkan dalam bentuk 4 (empat) arah mata angin sebagai perjalan-an hidup seorang manusia. Lantas, apakah pemberlakuan BW telah sesuai dengan mentalitas atau cara berpikir budaya masyarakat Indonesia? dan bagaimana posisi yang sebenarnya dari BW menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?
Pada masa kini, BW bisa dipahami sedang mengalami alienasi eksistensi sebagai imbas dari tuntutan perkembangan jaman. Mau tidak mau, suka tidak suka sampai kapanpun BW akan tetap berlaku di Indonesia sebelum ada penetapan yang baru peraturan tentang hukum perdata nasional sebagai amanat UUD 1945 sekalipun sangat bertolak belakang dengan kebudayaan Indonesia. Sehingga tidak mengherankan jika masih banyak yang menyangsikan keabsahan BW saat ini.
Mr. Sahardjo yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman pernah melontarkan bahwa BW (KUH Perdata) itu hanya dianggap sebagai Recht Boek, bukan Wet Boek. Akan tetapi pandangan itu ditentang keras oleh R. Subekti yang tetap berpandangan bahwa BW tetaplah Wet Boek, karena dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA), jelas disebutkan bahwa sepanjang ketentuan dalam Buku II BW yang mengatur tentang bumi, air serta kekayaan yang terkandung didalamnya, dicabut kecuali ketentuan mengenai hipotik (hypotheek).[9] Sri Soedewi Majchun Sofwan mengatakan terdapat 3 (tiga) konsekuensi sejak diundangkannya UUPA bagi Buku II BW, yaitu : Pasal-pasal yang masih berlaku penuh; Pasal-pasal yang tidak berlaku lagi; dan Pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh.[10] Semua pasal yang merupakan pelaksanaan atau bertalian dengan pasal-pasal yang tidak berlaku itu meskipun tidak tegas-tegas dicabut dan letaknya diluar Buku II BW.[11]
Sedikit demi sedikit, pasal-pasal yang ada dalam BW dipreteli satu per satu. Setelah berlakunya UUPA, giliran selanjutnya yaitu terbitnya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963 perihal Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak sebagai Undang-Undang. Beberapa pasal dipandang sudah tidak berlaku lagi, yaitu: (a) Pasal 108-110 BW; (b) Pasal 284 ayat (3) BW; (c) Pasal 1682 BW; (d) Pasal 1579 BW; (e) Pasal 1238 BW; (f) Pasal 1460 BW; dan juga (g) Pasal 1603 ayat (1) dan (2) BW.
Sementara itu, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tanggal 1 April 1975 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan yang mengganggap tidak berlaku lagi semua peraturan yang mengatur perkawinan sepanjang telah diatur dalam undang-undang tersebut. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah mengantikan pengaturan tentang jaminan fidusia telah digunakan di Indonesia sejak jaman Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi pengadilan di Indonesia.
Dalam perkembangannya selama ini, kegiatan pinjam-meminjam dengan menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga hipotek atas tanah dan credietverband dalam BW. Dan masih banyak lagi perubahan ketentuan yang terdapat dalam BW sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat saat ini.
Baik pencabutan maupun perubahan terhadap pemberlakuan pasal-pasal dalam BW berpegang teguh pada asas “lex a posteriori derogate lex a priori” yang artinya undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang dahulu/lama, disamping kebutuhan masyarakat. Pencabutan dilakukan jika ada undang-undang yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan undang-undang yang baru, sedangkan perubahan dilakukan dengan menyisipkan atau menambah materi atau menghapus atau mengganti sebagian materi undang-undang.[12]
Sudah secara jelas dan terang-benderang bahwa BW hingga saat ini masih diakui eksistensinya sebagai undang-undang dalam peraturan perundang-undangan, sekalipun dalam penyebutannya diistilahkan kitab (KUH Perdata) yang tidak sama tingkatannya dengan UUD 1945. Terlebih pasal-pasal dalam Buku III BW perihal hukum perikatan atau hukum perjanjian sebagai acuan dalam berkontrak. Sungguhpun demikian, dibalik itu semua BW berbicara tentang tantangan masa kini dan masa datang masih banyak kekurangan yang belum diakomodasi, serta tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Oleh karenanya, perlu diadakan pembaruan hukum perdata yang bersifat nasional, bukan warisan kolonial Belanda
Tarik Ulur Kebijakan Legislasi dalam Pembaruan Hukum Perdata Nasional: sebuah Harapan sebagai Keniscayaan
Era reformasi telah menandakan awal babak baru dalam sejarah bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, UUD 1945 yang dianggap sakral pada era orde lama dan orde baru untuk diubah, justru mengalami amandemen sebanyak 4 (empat) kali dengan segala konsekuensinya. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan “negara Indonesia adalah negara hukum” dengan esensi utamanya bahwa hukum Indonesia berdasarkan alas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Artinya adalah hukum sebagai panglima dan pemberi rasa keadilan, maka dari itu hukum harus bisa mengejar setiap perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Pemeo “ubi societas ibi ius” (di mana ada masyarakat manusia, di sana ada hukum) hendak mengungkapkan bahwa hukum adalah suatu gejala sosial yang bersifat universal. Di setiap lingkungan masyarakat bahkan negara, hukum selalu mengalami perkembangan. Tanpa kecuali BW yang usianya hampir menginjak 170 tahun. BW yang kini sudah semakin lapuk, usang (verouderd), dan sangat jauh ketinggalan jaman. Hukum terus berkembang, begitupun pula aneka perma-salahan hukum semakin beragam dan kompleks. Seperti contohnya perluasan alat bukti selain yang diatur dalam Buku IV BW mengenai alat bukti elektronik. Hukum sudah selayaknya menjangkau fenomena kemasyarakatan. Apabila tertinggal ataupun tidak sesuai, maka hukum tidak akan dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum kepada masyarakat. Maka dari itu, reformasi atau gagasan pembaruan hukum perdata nasional menyeruat ke permukaan sebagai kebutuhan yang mendesak dan tidak tertahankan.
Tercatat banyak sekali usaha dalam melakukan gagasan pembaruan hukum perdata nasional, mulai dari seminar, simposium, lokakarya dan lain sebagainya. Diantaranya yaitu Simposium Pembaruan Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada tanggal 21-23 Desember 1981 yang dihadiri para pakar/ahli hukum perdata. Kebutuhan akan pembaruan hukum perdata dilakukan baik dari segi strukturnya maupun dari segi substansinya.[13] Usaha mengadakan pembaruan dimaksudkan untuk menyelaraskan perkembangan hukum perdata dengan mo-dernisasi di dalam segala aspek kehidupan yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Didalam simposium tersebut, tujuan utamanya tidak lain adalah pembaruan kodifikasi serta unifikasi hukum, dalam hal ini hukum perdata nasional. Kemudian timbul gagasan untuk mempercepat proses kodifikasi dibuka kemungkinan menyusun kodifikasi parsial (bagian), yaitu kodifikasi dalam lapangan-lapangan hukum yang lebih sempit. Disetujui bahwa bahan hukum penyusunan kodifikasi hukum perdata nasional dipergunakan hukum perdata Barat, hukum Islam, dan hukum adat, dan aturan-aturan lain yang relevan.[14] Pada kesimpulannya, penyusunan kodifikasi dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan prioritas di dalam pembangunan. Perkembangan bidang hukum perdata di negara ini mem-punyai tendensi untuk disusun dalam bentuk kodifikasi nasional sebagai berikut: (1) bidang hukum keluarga (termasuk hukum perorangan); (2) bidang hukum waris; (3) bidang hukum benda; (4) bidang hukum jaminan; (5) bidang hukum perikatan (umum); (6) bidang badan hukum; (7) bidang perjanjian-perjanjian khusus; dan materi hukum acara perdata dalam bentuk kodifikasi secara tersendiri.
Yang terbaru digagas Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) yang resmi berdiri pada tanggal 4 September 2013 dengan diselenggarakannya Konferensi Nasional Hukum Perdata II yang bertemakan “Karakteristik Hukum Perikatan Nasional: Menuju Pembaharuan Hukum Perikatan Nasional” tanggal 16-17 April 2015 di Universitas Udayana, Denpasar, Bali yang kala itu fokus dalam pembaruan hukum perikatan nasional. Pembahasan mengenai perikatan didasari oleh Buku III BW sebagai satu-satunya buku dalam ketentuan tersebut yang belum diatur secara khusus dalam hukum nasional dan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum saat ini.
Ketua Umum APHK Y. Sogar Simamora dalam kesempatan itu berharap pemerintah bisa memberi perhatian lebih pula dalam pembaruan hukum perdata nasional. Sementara itu, menurut Dian Purnama Anugerah, di Indonesia sudah ada gagasan untuk mengubah kodifikasi BW sudah ada sejak tahun 1970-an, tetapi kemudian hal itu tidak pernah terwujud sama sekali. Dian juga berharap ke depan pemerintah bisa melibatkan APHK dalam mereformasi hukum keperdataan di Indonesia. Ketua Mahkamah Agung RI, M. Hatta Ali dalam pidato pembukaannya menyatakan bahwa perjalanan memperbaharui hukum keperdataan Indonesia memang masih panjang. Namun, para dosen ini sudah berada di track yang benar, karena mereka-lah harusnya berperan mendorong reformasi itu. “Akademisi dan Hakim harus berkolaborasi memperbarui hukum perdata”, tandasnya.
Sudah menjadi keharusan dan kewajiban untuk dilakukan pembaruan hukum perdata nasional sesegera mungkin mengingat Indonesia sudah 71 tahun merdeka harus keluar dari belenggu hukum peninggalan kolonial Belanda. Tidak hanya BW, namun juga terhadap KUHD, KUHP, HIR, RBg. dan lain sebagainya.
Penutup
Eksistensi BW di Indonesia, tidak dapat dipungkiri sejak awal dipengaruhi oleh politik hukum pemerintahan Belanda yang menerapkan asas konkordansi bagi hukum wilayah jajahannya. Perbedaaan cara berpikir dan mentalitas antara budaya Indonesia dengan budaya Belanda menjadi faktor determinan yang tidak terelakkan untuk segera melakukan pembaruan terhadap hukum perdata nasional. Diharapkan dengan dibentuknya Hukum Perdata Nasional, akan menunjukkan pancaran kepribadian yang sesuai dengan kebudayaan asli Indonesia.
Pencabutan maupun perubahan pasal-pasal dalam BW adalah wujud konkrit  tuntutan pembaruan yang menurut Y. Sogar Simamora dapat dikatakan sangat jauh tertinggal dengan BW Baru Belanda atau Niuew Burgerlijk Wetboek (NBW) tahun 1992 yang berhasil diubah, dirombak, singkatnya dimodernisasi, sehingga mengikuti perkembangan jaman yang dimulai sejak tahun 1947. Belajar dari itu, para legislator (DPR RI) dan Pemerintah harus mulai memikirkan kapan pembaruan ini dapat terwujud. Harapan besar itu sudah menanti di depan mata. Jangan sampai hukum semakin jauh meninggalkan peradaban masyarakat yang dari waktu ke waktu terus berkembang.
Pembaruan hukum perdata nasional adalah suatu keniscayaan, yang bukan hanya sekedar recht boek saja, namun wet boek sebagai pemecah permasalahan-permasalahan hukum keperdataan yang relevan dalam masyarakat. Baik pembaruan dalam bentuk kodifikasi, parsial, atau kodifikasi secara bertahap, hal tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu Hukum Perdata Nasional yang berciri khas-kan keindonesiaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Semoga sekelumit tulisan singkat ini dapat menambah cakrawala khazanah keilmuan dan pengetahuan dalam bidang hukum di Indonesia.
Daftar Pustaka
Aziz Syamsuddin, 2013, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Jakarta: Sinar Grafika
Mariam Darus Badrulzaman, 2015, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata, Buku Ketiga, Yurisprudensi, Doktrin serta Penjelasan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT Alumni
Koerniatmanto Soetoprawiro, 1993, Percikan Gagasan Tentang Hukum II, Kumpulan Tulisan Ilmiah Hukum Alumni dan Dosen Fakultas Hukum UNPAR, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
R. Subekti, 1998, Ceramah Perbandingan Hukum Perdata, Mahkamah Agung RI: Bina Yustisia
-------------, 2003, Hukum Perdata, Cetakan Ketiga Puluh Satu, Jakarta: Intermasa
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2009, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek yang diterjemahkan), Cetakan Keempat Puluh, Jakarta: PT. Pradnya Paramita
Sri Soedewi Maschun Sofwan, 1974, Hukum Perdata: Hukum Benda; Yogyakarta: Liberty
Valerine J.L. Kriekhoff, 2014, Pendulum Antinomi Hukum, Antologi 70 Tahun, Yogyakarta: Genta Publishing
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55461f3b61c74/aphk--asosiasi-dosen-yang-bercita-cita-memperbaharui-hukum-perdata


[1] Tulisan ini dibuat secara pribadi melalui berbagai sumber pada tanggal 28-31 Juli 2016.
[2] Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember dengan konsentrasi pada Hukum Keperdataan dan aktif sebagai anggota Forum Kajian Keilmuan Hukum (FK2H) FH-UJ.
[3] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2009, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek yang diterjemahkan), Cetakan Keempat Puluh, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
[4] Dahulu Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum diadakan Amandemen UUD 1945.
  Dalam butir 127 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa “Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a.   menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b.   menjamin kepastian hukum; 
c.   memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan 
     Perundang-undangan; dan
   d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
[5] Harifin A. Tumpa, 2014, Pembentukan Norma Hukum Perdata melalui Yurisprudensi dalam Antologi 70 Tahun Valerine J.L. Kriekhoff, Pendulum Antinomi Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, hal. 346.
[6] Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, sebagian ketentuan HIR khususnya untuk acara pidana telah dicabut.
[7] Menurut R. Supomo, karena telah dihapuskannya Raad van Justitie dan Hooggerechtshof, Rv. sudah tidak berlaku lagi, sehingga hanya HIR dan RBg. sajalah yang berlaku. Akan tetapi, dalam praktik peradilan eksistensi ketentuan dalam Rv. oleh judex facti (PN dan PT) serta judex juris Mahkamah Agung tetap dipergunakan dan dipertahankan. Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT Alumni, hal. 12.
[8] Koerniatmanto Soetoprawiro, 1993, Percikan Gagasan Tentang Hukum II, Kumpulan Tulisan Ilmiah Hukum Alumni dan Dosen Fakultas Hukum UNPAR, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 57-77.
[9] R. Subekti, 1998, Ceramah Perbandingan Hukum Perdata, Mahkamah Agung RI: Bina Yustisia, hal. 49. Bandingkan dengan R. Subekti, 2003, Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, hal. 14, bahwa “Kita sedang berusaha untuk membentuk suatu kodifikasi hukum nasional. Sementara belum tercapai, BW dan WvK masih berlaku dengan ketentuan hakim dapat menganggap suatu pasal tidak berlaku lagi jika bertentangan dengan keadaan jaman sekarang ini. Dikatakan bahwa BW dan WvK itu tidak lagi merupakan suatu “Wetboek” tetapi suatu “Rechtsboek”, kursif penulis.
[10] Selanjutnya baca Sri Soedewi Maschun Sofwan, 1974, Hukum Perdata: Hukum Benda; Yogyakarta: Liberty, hal: 5.
[11] Mariam Darus Badrulzaman, 2015, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata, Buku Ketiga, Yurisprudensi, Doktrin serta Penjelasan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 205.
[12] Aziz Syamsuddin, 2013, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 124-125.
[13] Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 220.
[14] Ibid.

Sabtu, 21 November 2015

GOLDEN SHAKE HAND SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MEWUJUDKAN REFORMASI BIROKRASI DAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Korupsi adalah masalah terbesar bagi semua negara dunia dan tergolong kepada kejahatan Transnasional. Korupsi menjalar sebagai sebuah kejahatan lintas negara dan menimbulkan dampak kerugian sistemik diseluruh negara-negara di dunia. Dampak sistemik dari korupsi menyebabkan terganggungnya kesejah-teraan, stabilitas hukum, politik dan ekonomi suatu negara. Hal ini dibuktikan melalui data yang diperoleh dari Bank dunia (2008) memperkirakan bahwa lebih dari US$10 milyar atau sekitar 5% dari GDP dunia setiap tahun hilang dikarenakan korupsi.[1] Dalam konteks global, dunia international telah bersama-sama berkomitmen untuk memberantas korupsi dengan dilahirkannyaThe United Nations Convention against Corruption” selanjutnya disebut UNCAC pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida, Meksiko. Konvensi ini menjadi momentum awal dunia internasional dalam rangka memerangi kejahatan korupsi.
Korupsi dalam UNCAC dikatakansebagai “an insidious plague that has a wide range of corrosive effects on societies. It undermines democracy and the rule of law, leads to violations of human rights, distorts markets, erodes the quality of life and allows organized crime, terrorism and other threats to human security to flourish. This evil phenomenon is found in all countries—big and small, rich and poor— but it is in the developing world that its effects are most destructive. Corruption hurts the poor disproportionately by diverting funds intended for development, undermining a Government’s ability to provide basic services, feeding inequality and injustice and discouraging foreign aid and investment. Corruption is a key element in economic underperformance and a major obstacle to poverty alleviation and development[2], dari pandangan ini dapatlah dikatakan bahwa korupsi adalah suatu kejahatan “extra-ordinary crime” (kejahatan luar biasa).
Korupsi sebagai bagian dari extra-ordinary crime, juga hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Terkait hal tersebut, pemerintah Indonesia menun-jukkan keseriusan komitmennya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang ditunjukkan dengan pembentukan berbagai regulasi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang tertuang di dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Bebas, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Selanjutnya disebut UU Tipikor); Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Selain di tingkat nasional, bentuk keseriusan pemerintah Indonesia juga ditunjukkan di tingkat internasional dengan melakukan Ratifikasi terhadap UNCAC sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption 2003.
Pemberantasan korupsi menjadi salah satu fokus utama Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan law enforcement. Berbagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi baik preventif maupun represif telah dilaksanakan. Upaya preventif terhadap tindak pidana korupsi dilakukan dengan cara meningkatkan pendidikan dan budaya anti korupsi, kemudian meningkatkan koordinasi dalam rangka mekanisme pelaporan pelaksanaan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan upaya represif dilakukan dengan pemberian sanksi pidana yang berat hingga adanya ketentuan pidana mati dalam UU Tipikor bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Selain itu, sebagai wujud konkrit untuk lebih menekan angka korupsi di Indonesia, pada tahun 2002 dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Meskipun berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, namun faktanya pada tahun 2014 berdasarkan Corruption Perseption Index (CPI) yang dikeluarkan oleh Transparency International (TI) menyebutkan bahwa Indonesia berada diurutan 107 dari 175 negara terbersih di dunia.[3] Hal tersebut masih jauh dari harapan agar Indonesia terbebas dari korupsi yang masih menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Praktik tindak pidana korupsi di Indonesia kini telah menjalar ke berbagai lini negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Tabulasi Data Penanganan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan berdasarkan instansi periode tahun 2004-2014 (per 31 Oktober 2014)[4], menempatkan lembaga eksekutif sebagai lembaga dengan kasus korupsi terbanyak dengan 180 dari 402 kasus yang ditangani. Lembaga Eksekutif merupakan lahan basah praktik korupsi para birokrat atau aparatur sipil negara guna memperkaya diri dengan memanfaatkan jabatannya. Dimana bukan saja para pejabat atau para pimpinan Kementerian dan Lembaga (selanjutnya disebut K/L) yang melakukan korupsi (grand corruption), tanpa kecuali para pegawai-pegawai negeri sipil (petty corruption) yang berjalan secara sistematis dan meluas. Belum lagi buruknya pelayanan publik atau birokrasi baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah menambah Pekerjaan Rumah bagi upaya terhadap Reformasi Birokrasi serta terciptanya Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance) di lembaga Eksekutif.
Sebagai kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime), maka korupsi perlu segera diberantas sampai pada akarnya. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan memutus mata rantai korupsi di Indonesia masih dapat dianggap kurang berjalan secara efektif. Apalagi data menyebutkan korupsi di K/L berada di tingkat teratas dibandingkan dengan lembaga-lembaga lainnya. Hal tersebut menandakan bahwa perlu adanya terobosan baru dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya di lembaga eksekutif. Seperti fenomena ‘puncak gunung es’ tingkat praktik korupsi di K/L sudah berada di titik yang memprihatinkan. Sehingga perlu sebuah terobosan pemberantasan korupsi yang tidak hanya terhadap upaya pemberan-tasan korupsi saja, tetapi lebih mengarah pada upaya pencegahan (preventif) guna menekan praktik korupsi di Indonesia, khususnya bagi lembaga Eksekutif (K/L).
Indonesia harus belajar dari negara Latvia yang menerapkan konsep ‘lustrasi’ (golden shake hand) bagi lembaga eksekutifnya. Latvia memberlakukan sebuah undang-undang yang disebut dengan UU tentang Lustrasi. Menurut Mahfud MD, konsep ‘lustrasi’ ini dinilai sebagai suatu konsep yang efektif dalam upaya pemberantasan korupsi disana, dimana beliau menyatakan bahwa[5]:
Di Latvia, ada Undang-Undang tentang Lustrasi. Ini semacam undang-undang yang mengatur pemotongan generasi. Yakni, memotong generasi pejabat di era 1998 ke bawah sehingga seluruh pejabat lama diganti. Dengan UU Lustrasi ini, negara Latvia yang dulunya terkenal sebagai negara korup saat ini menjadi negara bersih tanpa korupsi.
Konsep lustrasi atau golden shake hand ini adalah konsep yang baru dalam strategi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurutnya, ‘korupsi di judicial system itu hulunya di birokrasi yang tidak beres’. Diharapkan dalam penerapan konsep tersebut dapat menekan bahkan membasmi praktik korupsi di Indonesia yang saat ini sudah berada di titik yang memperihatinkan. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisis lebih lanjut dalam karya tulis ilmiah yang berjudul GOLDEN SHAKE HAND SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MEWUJUDKAN REFORMASI BIROKRASI DAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA”

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam karya tulis ilmiah ini adalah:
         1.  Apakah Golden Shake Hand dapat diterapkan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia?
       2. Bagaimana pengaturan mekanisme Golden Shake Hand sebagai upaya pemberantasan korupsi dalam mewujudkan Reformasi Birokrasi dan Good Governance di Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah:
1.    Untuk menganalisis kesesuaian konsep Golden Shake Hand apabila diterapkan di Indonesia;
2.   Untuk mengetahui pengaturan mekanisme Golden Shake Hand sebagai upaya pemberantasan korupsi dalam mewujudkan Reformasi Birokrasi dan Good Governance di Indonesia.
1.4. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah:
1.  Sebagai salah satu sarana menyampaikan gagasan mengenai pembaharuan penegakan hukum terhadap pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
2. Sebagai salah satu perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pene-litian dan untuk memberikan wawasan, informasi, serta sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat, mahasiswa, serta para pihak yang tertarik dan berminat terhadap permasalahan yang dihadapi.



BAB II
TELAAH PUSTAKA

2.1 Teori Sistem Hukum
Hukum adalah suatu sistem[6], yang terdiri atas sub-sub sistem yang saling terkait. Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga unsur dalam sistem hukum,yaitu:[7] Struktur Hukum (Legal Structure), Substansi Hukum (Legal Substance), dan Budaya Hukum (Legal Culture). Pertama-tama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum, terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang berkesinambu-ngan. Inilah struktur sistem Hukum, kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keselu-ruhan. Aspek lain sistem hukum adalah substansinya, yakni: aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, ke-putusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Penekannya disini terletak pada hukum yang hidup (Living Law), bukan hanya aturan dalam kitab hukum (Law Books).
Komponen ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti seekor ikan mati yang terkapar di dalam keranjang, bukan seperti seekor ikan hidup yang berenang di lautan.[8]

2.2.Tindak Pidana Korupsi
2.2.1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Ditinjau dalam sudut pandang etimologi, korupsi merupakan istilah asing yang diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam Webster Student Dictionary, Korupsi merupakan istilah yang berasal yang  dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa coruptio itu berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari Bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia yaitu “korupsi.”[9]
Di dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.[10] Korupsi perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Arti harfiah dari kata korupsi adalah kebusukan, ke-burukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah”.

2.2.2. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Menurut Aditjandra terdapat tiga macam model korupsi.[11] Pertama, berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas pelayan publik lainnya. Kedua, jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional. Ketiga, korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jaring-jaring korupsi internasional korupsi tersebut.
Jika dilihat dari besarnya lingkaran aktor yang terlibat, korupsi dapat dibedakan menjadi dua, yakni korupsi yang terkonsentrasi pada tingkat elit kekuasaan (grand corruption) dan korupsi yang dilakukan secara ‘massal’ oleh oknum-oknum pegawai negeri sipil (petty corruption).[12] Di Indonesia, kedua jenis korupsi ini telah menjadi kebiasaan dan berkembang secara sistematis dan meluas. Namun, hal ini tidak berarti bahwa korupsi massal yang dilakukan oleh pegawai negeri mempunyai jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh elit-elit politik. Dalam banyak kasus justru sebaliknya, korupsi yang dilakukan oleh segelintir orang ditingkat pusat mempunyai jumlah yang sangat besar, melebihi korupsi yang dilakukan oleh orang-orang di tingkat bawah yang kecil angkanya. Pejabat rendahan akan memiliki peluang yang lebih kecil karena kedudukannya, sementara pejabat tinggi akan mempunyai kesempatan yang jauh lebih besar untuk mengkorup uang negara atau publik.

2.3. Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi secara etimologis terdiri dari dua kata yaitu reformasi dan birokrasi. Reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan; dan cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya. Reformasi Birokrasi adalah suatu perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi seperti kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, aparatur, pengawasan dan pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk memposisikan diri (birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan yang dinamis.
Perubahan tersebut dilakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi birokrasi secara tepat, cepat dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sesuai diamanatkan konstitusi. Perubahan kearah yang lebih baik, merupakan cerminan dari seluruh kebutuhan yang bertitik tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan. Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap sistem penyelangggaraan pemerintah yang tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga reformsi birokrasi menjadi tulang punggung dalam perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Kementerian Perdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB), reformasi birokrasi merupakan langkah strategis membangun sumber daya aparatur negara yang profesional, memliki daya guna dan hasil guna yang profesional dalam rangka menunjang jalannya pemerintah dan pembangunan sosial.[13]
Dalam melaksanakan reformasi birokrasi perlu adanya sebuah prinsip atau pedoman atau panduan sebagai tolak ukurnya. Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam reformasi birokrasi di Indonesia antara lain[14]: (i) Prinsip Outcomes Oriented; (ii) Prinsip Keterukuran; (iii) Prinsip Efisien; (iv) Prinsip Efektivitas; (v) Prinsip Realistik; (vi) Prinsip Konsisten; (vii) Prinsip Sinergi; (viii) Prinsip Inovatif; (ix) Prinsip Kepatuhan; dan (x) Prinsip Dimonitor.

2.4. Konsep Good Governance
Jika mengacu pada program World Bank dan United Nation Development Program (UNDP)[15], orientasi pembangunan sektor publik adalah menciptakan good governance. Pengertian good governance sering diartikan sebagai tata kelola pemerintahan yang baik. Good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik merupakan proses penyelenggaraan birokrasi dalam pelayanan barang  dan jasa publik (public goods and services) yang dalam pelaksanaannya  harus senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip good governance, yaitu: prinsip efektifitas (effectiveness), keadilan (equity), partisipasi (participation), akuntabilitas (accountability) dan transparansi (transparency). Gunawan Sumodiningrat[16] menyatakan good governance adalah upaya pemerintahan yang amanah dan sejalan dengan kaidah penyelanggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Agar good governance dapat menjadi kenyataan dan berjalan dengan baik, maka dibutuhkan komitmen dan keterlibatan semua pihak yaitu pemerintah dan masyrakat. Good Governance yang efektif menuntut adanya “alignment” (koordinasi) yang baik dan integritas, profesional serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsanegara.

2.5.       Golden Shake Hand
Menurut Cambridge Dictionary[17]Golden Handshake adalah “A usually large payment made to people when they leave their job, either when their em-ployer has asked to leave or when they are leaving at the end of their working life, as a reward for very long or good service in their job.[18] Pemberian tunjangan dalam jumlah besar ini diberikan oleh perusahaan dalam rangka menjaga tingkat kesejahteraan pegawai yang telah mengundurkan diri dari perusahaan. Dalam hal ini perusahaan menempatkan dirinya sebagai pengayom bagi pekerja bukan hanya ketika mereka masih menjadi pekerja resmi, namun ketika mereka telah memu-tuskan untuk tidak lagi menjadi bagian dari perusahaan tersebut.
Sementara itu, Golden Shake Hand menurut USLEGAL adalah stipula-tion in an employment agreement which states that in the event of loss of the job, the employer will provide a significant severance package. A golden handshake is usually provided to top executives. The clause serves as protection against loss of employment through layoffs, firing, or even retirement. The principal amount so offered is free of tax.”[19] Dari pengertian ini, pemberian golden shake hand didasarkan kepada adanya klausul atau perjanjian kerja yang sebelumnya telah disetujui oleh pekerja ketika mereka melamar dalam suatu perusahaan. Pemberian golden shake hand biasanya diberikan kepada pekerja yang telah lama mengabdi kepada suatu perusahaan dan telah memberikan suatu kontribusi aktif bagi perusahaan.

BAB III
METODE PENELITIAN

Metodologi dalam penelitian hukum menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilaksanakan. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.[20] Hal tersebut sejalan dengan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Morris L. Cohen, Legal Research is the process of finding the law that governs activities in human society.[21] Selanjutnya Cohen menyatakan bahwa “It involves locating both the rules which are enforced by the states and commentaries which explain or analyze these rules”.[22]

3.1  Tipe Penelitian
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul.[23] Tipe Penelitian dalam karya tulis ilmiah ini adalah Yuridis Normatif (legal Research). Hukum sebagai konsep normatif adalah hukum sebagai norma, baik yang diidentikkan dengan keadaan yang harus diwujudkan (ius constituendum) ataupun norma yang telah terwujud sebagai perintah yang eksplisit dan yang secara positif telah terumus jelas (ius constitutum).[24]

3.2  Pendekatan Masalah
Terkait karya tulis ilmiah ini penulis menggunakan beberapa pendekatan. Melalui pendekatan tersebut, penulis akan  mendapatkan informasi dan berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan yang digunakan penulis dalam karya tulis ilmiah ini adalah yuridis yaitu dengan menggunakan antara lain :
1.      Pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani[25];
2.      Pendekatan konseptual (conseptual approuch), pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pendangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi penulis dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.[26]

3.2.1   Sumber Bahan Hukum
Sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum non hukum. Bahan hukum tersebut merupakan sarana bagi suatu penulisan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah ini adalah :
      1.      Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan  dan putusan-putusan hakim.[27] Bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yaitu :
1.  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai Negeri Sipil;
2.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.

      2.      Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum. Disamping itu juga, kamus-kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.[28] Bahan-bahan tersebut digunakan untuk mendukung, mem-bantu, melengkapi, dan membahas masalah-masalah yang timbul dalam penulisan ini. Pada penulisan ini bahan hukum sekunder yang digunakan oleh penulis adalah buku-buku teks yang berkaitan dengan isu hukum yang menjadi pokok permasalahan.

3.2.2        Analisis Bahan Hukum
Metode analisis bahan hukum yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan analisa deduktif, yaitu dengan cara melihat suatu permasalahan secara umum sampai dengan pada hal-hal yang bersifat khusus untuk mencapai preskripsi atau maksud yang sebenarnya.[29] Peter Mahmud Marzuki menyatakan, “Dalam menganalisa bahan yang diperoleh agar dapat menjawab permasalahan dengan tepat dilakukan dengan langkah-langkah :
1.  Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;
2.  Pengumpulan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan non hukum yang dipandang mempunyai relevansi;
3.   Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan;
4.      Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum; dan
5.      Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.
Sesuai langkah-langkah diatas, sebelumnya penulis mengidentifikasi fakta-fakta hukum dan telah menetapkan isu hukum yang akan dibahas. Selanjutnya mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dengan isu hukum yang akan dibahas. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian digunakan untuk menelaah dan menganalisis isu hukum yang dibahas. Setelah melakukan telaah kemudian penulis menganalisis dengan menggunakan analisis deduktif yaitu analisis umum menuju ke khusus. Pada judul yang dianalisis, GOLDEN SHAKE HAND SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MEWUJUDKAN REFORMASI BIROKRASI DAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA, dikaji menggunakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Setelah itu memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang dibangun dalam kesimpulan.
Berdasarkan metode penelitian yang diuraikan diatas diharapkan didalam penilisan ini mampu memperoleh jawaban atas rumusan masalah, sehingga memperoleh hasil yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS

4.1     Penerapan Golden Shake Hand di Indonesia
Konsep Golden Shake Hand sebenarnya telah ada di Indonesia, namun tidak banyak orang menyadari keberadaan dan betapa besar manfaat dari penerapannya. Hal ini dapat dilihat dari perusahaan-perusahaan nasional, baik nasional (BUMN) maupun swasta yang menerapkannya. Hal ini dilakukan karena seiring dengan perkembangan dan tuntutan jaman, perusahaan-perusahaan besar membutuhkan suatu kinerja dan keuntungan (profit) perusahaan yang berjalan secara linear. Terkadang, suatu perusahaan mengalami apa yang dina-makan dengan financial distress (kesulitan keuangan), sehingga mengeluarkan sebuah kebijakan-kebijakan strategis untuk menanganinya, salah satunya adalah Golden Shake Hand. Konsep inilah yang kemudian dinilai berhasil dalam mengeluarkan suatu perusahaan saat terjadi financial distress.
                    4.1.1    Perusahaan-perusahaan yang menerapkan Golden Shake Hand
Penerapan Golden Shake Hand di Indonesia saat ini ada di 4 (empat) perusahaan nasional, yaitu: Telkom Indonesia, Garuda Indonesia Airways, Merpati Nusantara Airlines dan Citibank. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) adalah perusahaan nasional yang pertama kali menerapkan Golden Shake Hand sejak tahun 1995,[30] yang dilakukan secara bertahap untuk merampingkan jumlah pegawai agar perusahaan dapat bergerak lincah dalam kompetisi yang semakin ketat. Saat itu sebanyak 5.188 pegawai mengikuti program tersebut. Bila dihitung sejak tahun 2002 hingga 2009 sudah sekitar 12 ribu pegawai mengambil program pensiun dini. Pada bulan Maret 2009 lalu, sebanyak 1.156 pegawai telah mengkuti program pensiun dini.
Dalam persaingan industri telekomunikasi yang sangat ketat, Telkom perlu mengantisipasi lingkungan bisnis yang sangat cepat berubah dan sumberdaya yang efisien menjadi pertimbangan yang sangat strategis. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional perlu diterapkannya program Golden Shake Hand dengan cara menawarkan kepada para pegawai dengan memberikan kompensasi yang sangat memadai jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Top of FormBottom of FormRata-rata para pegawai yang melakukan Golden Shake Hand ingin mengem-bangkan diri di luar perusahaan sebagai second carrier. Tidak sedikit pula di antara mereka umurnya sudah mendekati masa pensiun sehingga mereka mungkin memilih berkiprah dalam bidang lain.
Golden shake hand juga diterapkan oleh perusahaan penerbangan nasional Garuda Indonesia Airways. Menurut Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar mengatakan bahwa[31]Garuda saat ini telah banyak berubah, namun tidak semua sumber daya manusianya mampu mengikuti perubahan tersebut’. Lanjutnya menegaskan ‘bahwa dalam memanage perusahaan harus mempunyai keseimbangan antara logika dan hati. Harus adanya guidance bagai-mana cara untuk bertahan dan melanjutkan’. Garuda menawarkan golden shake hand bagi karyawannya dengan lebih dari 4 tahun gaji mereka dan memberikan pelatihan kewirausahaan. Dengan begitu, karyawan yang mengikuti program golden shake hand diberikan bekal setelah tidak bekerja kembali.
Selain Telkom dan Garuda Indonesia yang menerapkan program golden shake hand bagi perusahaannya, Merpati Nusantara Airlines juga menerapkan hal yang sama. Berbeda dengan kedua perusahaan diatas, Tujuan menerapkan golden shake hand oleh Merpati Nusantara Airlines adalah alasan karena kinerja keuangan yang belum juga membaik.[32] Anak perusahaan Garuda Indonesia ini beralasan juga untuk efisiensi perusahaan di tengah persaingan perang tarif penerbangan perlu dilakukan pemangkasan karyawan.
Citibank, perusahaan yang bergerak di bidang perbankan juga melakukan program golden shake hand bagi karyawannya. Multi National Corporation (MNC) ini sejak awal telah melakukan berbagai usaha untuk mengalokasikan karyawan yang posisinya hilang ke posisi lain di bank sesuai dengan kapabilitas dan pengalaman mereka. Namun, bagi yang tidak dan mengalami posisi yang hilang kemudian ditawarkan Golden Shake Hand .[33] Terkait penyelesaian dengan pihak karyawannya, Citibank memastikan bahwa hingga saat ini sudah 99 persen karyawan menerima program restrukturisasi ini (golden handshake program) berjalan dengan sangat baik. Program restrukturisasi yang diberikan Citibank adalah dengan memberikan kompensasi serta tunjangan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
          
            4.1.2    Manfaat Penerapan Golden Shake Hand
Suatu konsep pasti memiliki suatu tujuan untuk dicapai, begitu pula dengan Golden Shake Hand. Secara umum Golden Shake Hand bertujuan untuk menjamin kesejahteraan karyawan selepas mereka tidak lagi menjadi bagian dari perusahaan. Biasanya Golden Shake Hand diberlakukan oleh perusahaan yang ingin melakukan peremajaan dalam perusahaannya dengan mempertimbangkan beberapa manfaat yang ada. Manfaat dari Golden Shake Hand dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Jika dilihat dari sudut pandang pemberi Golden Shake Hand atau perusahaan, maka pemberian Golden Shake Hand mempunyai dua manfaat: yang pertama, terkait alasan kelebihan karyawan, maka dengan diber-lakukannya Golden Shake Hand diharapkan biaya operasional perusahaan di masa mendatang akan berkurang karena jumlah beban tanggungan perusahaan turut berkurang sejalan dengan berkurangngnya jumlah karyawan. Kedua, untuk alasan menyegarkan perusahaan, pemberian Golden Shake Hand akan memutus rantai generasi dari karyawan yang kurang produktif dan menggantinya dengan karyawan-karyawan baru yang memiliki kompetensi lebih bagus dari sebelumnya sehingga dengan adanya karyawan baru diharapkan mampu memunculkan ide-ide segar yang nantinya berdampak kepada meningkatnya kinerja perusahaan.
Lebih lanjut dilihat dari sudut pandang karyawan yang mendapatkan Golden Shake Hand, para karyawan merasa diperhatikan kesejahteraan selepas mereka bukan lagi menjadi bagian dari perusahaan. Selain itu pemberian Golden Shake Hand juga dapat membuka peluang bagi karwayan tersebut untuk mengem-bangkan diri diluar perusahaan. Diharapkan dengan adanya program Golden Shake Hand dapat memberikan suatu tindakan solutif yang dapat menguntungkan baik bagi perusahaan maupun pekerja yang tidak lagi menjadi bagian dari perusahaan tersebut. Jadi penerapan Golden Shake Hand di Indonesia saat ini telah diterapkan oleh perusahaan-perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta.

4.2     Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  melalui mekanisme Golden Shake Hand  dalam Mewujudkan Reformasi Birokrasi dan Good Governance di Indonesia
   4.2.1        Perwujudan Reformasi Birokrasi dan Good Governance dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Reformasi birokrasi di Indonesia sebenarnya telah dilakukan sejak akhir tahun 2005 yang lalu dengan diterapkannnya pilot project reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung dan Badan Pemeriiksa Keuangan. Selanjutnya dikembangkanlah suatu kerangka kerja reformasi birokrasi yang diwujudkan dalam Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Didalam Peraturan Presiden tersebut, terdapat sasaran dan indikator keberhasilan reformasi birokrasi di Indonesia adalah ‘Ter-wujudnya Pemerintahan yang bersih dan bebas KKN[34]. Dimana tujuannya adalah akan terciptanya suatu tatanan penyelenggaraan negara yang efektif dan efisien.
Penyebab munculnya reformasi birokrasi adalah adanya kebutuhan mela-kukan perubahan dan pembaharuan. Kebutuhan akan perubahan dan pembaharuan tersebut terwujud jika didukung oleh kebijakan politik (political policy) yang strategis dan dijadikan suatu program nasional dengan dukungan seluruh rakyat.[35] Reformasi birokrasi adalah langkah solutif dalam rangka membangun pemerin-tahan negara yang mampu berjalan dengan baik (good governance).
Pada hakikatnya birokrasi pemerintah harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan profesional. Birokrasi harus sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat dan bekerja untuk memberikan pelayanan pri-ma, transparan, akuntabel, dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Semangat inilah yang mendasari pelaksanaan reformasi birokrasi peme-rintah di Indonesia.
Namun sayang karena belum termaksimalkannya upaya reformasi birokra-si di Indonesia, maka berdampak pada pelayanan dan kinerja yang buruk hingga mengarah kepada terjadinya praktik korupsi. Bahkan Tabulasi data ACCH KPK menyebutkan bahwa tingkat praktik korupsi tertinggi berdasarkan instansi secara akumulasi di Indonesia berada dalam lingkungan lembaga eksekutif, yaitu melipu-ti Kementerian atau Lembaga (K/L), Pemerintah Provinsi serta Pemerintah Daerah.
Instansi
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Jumlah
DPR RI
0
0
0
0
7
10
7
2
6
2
2
0
36
Kementerian/Lembaga
1
5
10
12
13
13
16
23
18
46
26
6
189
BUMN/BUMD
0
4
0
0
2
5
7
3
1
0
0
0
22
Komisi
0
9
4
2
2
0
2
1
0
0
0
0
20
Pemerintah Provinsi
1
1
9
2
5
4
0
3
13
4
11
2
55
Pemkab/Pemkot
0
0
4
8
18
5
8
7
10
18
19
0
97
Jumlah
2
19
27
24
47
37
40
39
48
70
58
8
419
Gambar 1: Tabulasi Data Penanganan Korupsi Berdasarkan Instansi Tahun 2004-2015
Sektor-sektor di lembaga eksekutif merupakan lahan basah praktik korupsi para birokrat atau aparatur sipil negara guna memperkaya diri dengan meman-faatkan jabatannya. Sektor-sektor tersebut masih kental dengan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang (abuse the authority) sebagai dampak dari mi-nimnya integritas, sistem karir dan penggajian yang tidak berbasis kinerja. Selain itu, belum tersusunnya manajemen kinerja serta standar pelayanan minimal, disamping perilaku masyarakat yang serba instan dalam setiap urusan, turut berpe-ran memperburuk keadaan tersebut.[36] Kondisi yang demikian itu merupakan realita dalam sektor pelayanan publik yang perlu dibenahi, dicegah dan dicarikan jalan keluarnya.
Hal demikian terjadi karena jika melihat pada ketentuan normatif yang ada di Indonesia, memang bagi orang-orang yang duduk di ranah eksekutif dalam hal ini yang menjadi fokus adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah ada aturan mengenai evaluasi kinerja atau yang dikenal dengan istilah daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan yang diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Tapi anehnya tujuan dari daftar penilaian pelaksaan pekerjaan adalah untuk memperoleh bahan-bahan pertimbangan yang objektif dalam pembinaan PNS dan untuk menjamin objektivitas dalam mempertimbangkan pengangkatan dalam jabatan dan kenaikan pangkat diadakan penilaian prestasi kerja saja. Selain itu yang menjadi miris adalah dalam ketentuan Pasal 3 pada Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa terhadap setiap PNS dilakukan penilaian pelaksanaan pekerjaan sekali setahun oleh pejabat penilai.
Padahal seharusnya jika Pemerintah benar-benar sepenuh hati ingin me-lakukan reformasi birokrasi di Indonesia, maka idealnya adalah hasil dari daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan tersebut juga menjadi acuan apakah orang tersebut masih layak ada di kursi eksekutif dalam hal ini PNS ataukah tidak. Karena hanya akan menjadi hal yang mubadzir ketika kebradaannya tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perwujudan Good Governace di Indonesia, tetapi malah menambah beban anggran negara yang terbuang percuma.

4.2.2 Mekanisme Golden Shake Hand sebagai Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Mewujudkan Reformasi Birokrasi dan Good Governance di Indonesia
Mekanisme Golden Shake Hand mungkin bagi sebagian orang diiden-tikkan dengan istilah Pensiun Dini. Namun disini penulis menegaskan bahwa konsep Golden Shake Hand yang diusulkan oleh penulis adalah berbeda dengan istilah Pensiun Dini yang diterapkan di Indonesia saat ini. Pensiun dini merupakan salah satu alasan pemberhentian PNS yang ada dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Selanjutnya dalam Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Administrasi Pemberhentian Dengan Hak Pensiun Pegawai Negeri Sipil Secretariat Negara Republik Indonesia. Disebutkan bahwa Pemberhentian Atas Permintaan Sendiri (Pensiun Dini) dapat dilakukan oleh PNS yang telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun dan mempunyai masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 20 tahun, dapat mengajukan permohonan pemberhentian sebagai PNS dengan hak pensiun (pensiun dini), dengan cara mengajukan permohonan berhenti sebagai PNS kepada Menteri Sekretaris Negara u.p. Deputi Menteri Sekretris Negara Bidang Sumber Daya Manusia.
Sedangkan konsep Golden Shake Hand yang diusulkan oleh penulis memi-liki mekanisme yang berbeda. Berikut adalah mekanismenya:
      1.      Dilakukan secara kontinue terhadap seluruh jajaran PNS yang ada dalam ranah eksekutif;
      2.      Dilakukan melalui mekanisme evaluasi kerja dan uji kompetensi.
Jadi disini bagi orang-orang yang sudah menduduki posisi jabatan yang strategis tidak lantas mereka bisa merasa tenang dengan jabatanyya, karena setiap tahunnnya atas hasil dari evalusi, kinerja mereka akan terus dipantau, dan jika masih ingin menduduki jabatan tersebut maka harus melakukan uji kompetensi ulang. Hal ini bertujuan agar nantinya yang duduk di kursi eksekutif (dalam hal ini PNS) adalah benar-benar orang yang teruji dan memiliki kompetensi juga komitmen tinggi bagi perwujudan Good Governance di Indonesia.
Tentu saja bagi yang tidak dapat lolos mekanisme evaluasi kinerja dan uji kompetensi, maka mereka harus segera keluar dari jabatannya sebagai PNS. Meski demikian Pemerintah tidak serta merta melepaskan dan tidak memikirkan efek dominonya, maka sebelum Golden Shake Hand dilakukan, mereka diberikan pelatihan kewirausahaan, agar nantinya setelah keluar dari PNS dapat mengem-bangkan diri dan tetap dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Jadi nantinya ketika konsep ini diterapkan maka dapat pula menekan beban pengeluaran yang ada dalam keuangan negara, menekan angka korupsi di ranah eksekutif dan akhirnya diharapkan mampu mewujudkan Reformasi Birokrasi dan Good Governance di Indonesia.

BAB V
PENUTUP

5.1. Simpulan
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan dan setelah dianalisis per-masalahan, maka dapat diperoleh simpulan sebagai berikut:
1.   Angka korupsi tertinggi yang terjadi di Indonesia ada pada ranah eksekutif. Hal ini secara otomatis juga memperlambat terwujudnya Reformasi Birokrasi dan Good Governace di Indonesia. Meskipun pereintah telah menerapkan mekanisme evaluasi kenerja yang ada dalam PP Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai Negeri Sipil namun ternyata hasilnya hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
2.   Konsep Golden Shake Hand merupakan jalan alternatif pemberantasan korupsi di Indonesia. Dilakukan dengan mekanisme evaluasi kerja dan uji kompetensi yang dilaksanakan secara continue terhadap seluruh jajaran PNS yang ada dalam ranah eksekutif. Nantinya yang berhasil lolos maka akan tetap menduduki jabtannya atau bisa juga akan dipindahkan kejabatan yang lebih tinggi, namun bagi yang tidak berhasil lolos, maka akan diberikan pelatihan kewirausahaan dan kemudian dilakukan Golden Shake Hand dengan cara diberikan uang pesangon yang lebih besar dari hak pensiun perbulannya.

5.2 Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan beberapa rekomen-dasi sebagai berikut:
1.    Harus ada pengaturan secara normatif terkait konsep dan mekanisme dari Golden Shake Hand, karena bagaimapun sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum maka konsekuensi logisnya adalah segala sesuatunya harus berdasar atas hukum;
2.     Harus ada perubahan terhadap ketentuan mengenai evaluasi kinerja yang ada dalam PP Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai Negeri Sipil dan ketentuan mengenai pensiun dini yang ada dalam  PP Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.





DAFTAR PUSTAKA



JURNAL:

Batubara, Alwi Hasyim. 2006. Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan. Vol. 3 Januari-April 2006(1)

Nawatmi, Sri. 2013. Korupsi Dan Pertumbuhan Ekonomi – Studi Empiris 33 Provinsi Di Indonesia (Corruption And Economics Growth In 33 Province – An Empirical Study In Indonesia). Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan. Vol. 2(1)



BUKU:

Budi Winarno. 2008. Globalisasi: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia. Surabaya: PT. Erlangga.

Burhan, Ashofa. 2000. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.

Djaja, Ermansjah. 2009. Memberantas Korupsi bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika.

Effendy, Marwan. 2012. Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana. Jakarta: Referensi.

Mahmud Marzuki, Peter. 2010. Penulisan Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sumodiningrat, Gunawan. 2009. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Thoha, Miftah. 2008. Reformasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta: Prenada Media Group.



BUKU TERJEMAHAN:

M. Friedman, Lawrence. 2001. American Law: An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) terjemahan dari Wishnu Basuki. Jakarta: PT. Tatanusa.



ORGANISASI SEBAGAI PENGARANG:

Kementerian Perdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 2011. Buku 5: Kriteria Ukuran Keberhasilan Reformasi Birokrasi Indonesia. KEMENPAN RB Republik Indonesia.



SURAT KABAR:

Halili, 6 April 2010. Potong Generasi Korupsi. Harian Kompas.



PUBLIKASI ELEKTRONIK:

Transparancy International. Publikasi Corruptions Perception Index (CPI) 2014. http://www.ti.or.id [20 April 2015]

Komisi Pemberantasan Korupsi. Statistik Penanganan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Instansi. http://acch.kpk.go.id [19 April 2015]

Jaring News. Politik Peristiwa: Untuk Berantas Korupsi Perlu Potong Satu Generasi di Birokrasi. http://jaringnews.com [19 April 2015]

Cambridge Dictionary. Golden Handshake. http://dictionary.cambridge.org [20 April 2015]




[1]  Nawatmi, Sri. 2013. Korupsi Dan Pertumbuhan Ekonomi – Studi Empiris 33 Provinsi Di Indonesia (Corruption And Economics Growth In 33 Province – An Empirical Study In Indonesia). Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan. Vol. 2(1): 66
[2] Diterjemahkan di dalam Bahasa Indonesia: “Korupsi adalah sebuah wabah berbahaya yang memiliki berbagai efek korosif pada masyarakat. Korupsi merusak supremasi hukum dan demokrasi, melanggar hak asasi manusia, mendistorsi pasar, mengikis tingkat kualitas hidup masyarakat dan memungkinan untuk munculnya kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman lain terhadap keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Fenomena kejahatan ini ditemukan di semua negara baik negara maju ataupun berkembang, negara kaya ataupun miskin – namun dampak kerusakan terbesar dirasakan oleh negara berkembang. Korupsi merugikan masyarakat kecil dengan merampas dana yang ditujukan untuk pengembangan, merusak kemampuan pemerintah untuk melakukan pelayan dasar, menyuburkan ketidaksetaraan dan ketidak adilan, menghambat bantuan luar negeri dan investasi. Korupsi merupakan elemen kunci dalam pelambatan laju ekonomi dan kendala utama untuk pengentasan kemiskinan dan pembangunan.

[6]Lili Rasidji dan Ida Bagus Wyasa Putra. 1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hlm. 93-125
[7]Lawrence M. Friedman. 2001. American Law: An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) terjemahan dariWishnu Basuki. Jakarta: PT. Tatanusa. hlm. 7-9
[8]Ibid. yang menyebutkan terminologi ‘without legal system, the legal system is inert – a dead fish lying inn a basket, not a living fish swimming in its sea’.
[9] Ermansjah Djaja. 2009. Memberantas Korupsi bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 6
[10]Henry Campbell Black dalam Marwan Effendy. 2012. Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana. Jakarta: Referensi. hlm. 80
[11]Aditjandra dalam Budi Winarno. 2008. Globalisasi: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia. Surabaya: PT. Erlangga. hlm. 66
[12]Ibid.
[13]Kementerian Perdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 2011. Buku 5: Kriteria Ukuran Keberhasilan Reformasi Birokrasi Indonesia. KEMENPAN RB Republik Indonesia
[14]Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025
[15] Alwi Hasyim Batubara. 2006. Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan.Vol 3.Januari-April 2006(1).hlm. 3
[16] Gunawan Sumodiningrat. 2009. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 251
[17]http://dictionary.cambridge.org/dictionary/british/golden-handshake(diakses pada tanggal 19 April 2015 pukul 04.20 WIB)
[18] Terjemahan Bahasa Indonesia: “Tunjangan dalam jumlah besar yang diberikan kepada pekerja yang meninggalkan pekerjaan mereka, baik ketika mereka diminta untuk mengundurkan diri atau ketika mereka mengundurkan diri secara sukarela di akhir masa kerja mereka, sebagai sebuah penghargaan atas pengabdian dan pelayanan mereka.”
[19] Terjemahan Bahasa Indonesia: “Ketentuaan dalam perjanjian kerja, bahwa dalam hal hilangnya suatu pekerjaan, atasan wajib untuk menyediakan paket pesangon yang signifikan. Golden Handshake biasanya diberikan kepada eksekutif puncak, yang diberikan sebagai perlindungan terhadap hilangnya pekerjaan dikarenakan pemutusan hubungan kerja (PHK), pemecatan, atau pensiun Tunjangan diberikan secara penuh dan bebas pajak.
[20] Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 35
[21] Morris L.Cohen & Kent C. Olson. Legal Research, West Publishing Company, St. Paul, Minn. Hlm.1 Sebagaimana dikutip dalam buku Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 29
[22] Enind Campbell, et al, Legal Research, The Law Book Company, Melbourne, 199, hlm. 271 Sebagaimana dikutip dalam buku Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 29
[23] Peter Mahmud Marzuki, Op.cit. hlm. 41
[24] Ashofa Burhan. 2000. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 33
[25] Ibid, hlm. 93
[26] Ibid, hlm. 95
[27] Ibid, hlm. 141
[28] Ibid. hlm. 155
[29] Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm. 171
[30]http://www.telkom.co.id/telkom-kembali-tawarkan-pensiun-dini.html(diakses pada tanggal 21 April 2015 pukul 12.39 WIB)
[34] Selain itu juga :’Terwujudnya Peningkatan kualitas layanan publik kepada masyarakat’ dan ‘Meningkatnya kapabilitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.’ Ramadhani Ardiansyah. dalamDesain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia – Mari Belajar Dari yang Terbaik. Tangerang: STAN Bintaro.
[35]Miftah Thoha. 2008. Reformasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta: Prenada Media Group.hlm. 106-108
[36]Ibid. hlm. 84